Pembatasan Partai Politik


Oleh Ellyasa KH Darwis, (Opindo, edisi 23, 2-8 Oktober/2006)

GAGASAN penyedarhanaan partai politik, belakangan ini menjadi issue yang hangat. Alasannya, sistem multipartai yang berlaku saat ini dianggap tidak mampu menciptakan parlemen dan pemerintahan yang efektif. Gagasan ini tidak dengan sendirinya menutup peluang partai baru untuk ikut Pemilu 2009, hanya saja keikutsertaan dalam pemilu perlu persyaratan tertentu. Seperti electoral threshold. yakni batas minimal perolehan suara sebesar tiga persen untuk mengikuti pemilu berikutnya.

Alasan lain, batas minimal perolehan suara sebetulnya sudah punya spirit ke arah pembatasan partai. Bagaimanapun juga, demikian argument yang diajukan, penyederhanaan partai merupakan bagian dari proses demokrasi di Indonesia. Semua partai boleh saja berdiri. Tapi untuk mengikuti pemilu ia harus menunjukkan ada pilihan masyarakat yang menghendaki partai ini ikut pemilu.

Tentu saja, kemudian muncul perlawanan dari berbagai kalangan terutama dari partai-partai kecil. Ide penyederhanaan partai politik melalui peningkatan ambang batas pemilihan (electoral threshold), dianggap akan membatasi jumlah parpol dan dipandang sebagai tindakan otoriter. Kelompok ini berpendapat, biarlah proses seleksi parpol diserahkan kepada rakyat. Kalau rakyat tidak percaya parpol tertentu dan itu terjadi pada sejumlah pemilu, dengan sendirinya hanya parpol dengan dukungan signifikan yang akan bertahan.

Pada sisi lain, ide meningkatkan electoral threshold dari 3 persen menjadi 5 persen terlalu kejam. Ambang 2 persen seperti pada Pemilu 1999 dinilai lebih ideal. Demikian juga gagasan penerapan parliament threshold sebagaimana dipergunakan di Jerman juga belum saatnya direalisasikan di Indonesia. Cara itu bahkan lebih berat dan rumit dibandingkan dengan penerapan electoral threshold.

Beberapa kalangan menilai, ide pembatasan partai politik dengan mekanisme electoral threshold bisa saja dilakukan untuk mencari dan melahirkan parpol yang berkualitas dan memiliki komitmen pada konstituennya. Hanya saja, gagasan ini tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa dan ekstrem, sebab akan sangat jelas tampak yang sangat diuntungkan adalah partai-partai besar. Tak pelak lagi, gagasan meningkatkan electoral threshold ini dianggap sebagai semata-mata kepentingan parpol besar, agar tetap berjaya dan tidak ada pesaing yang muncul, khususnya dari partai-partai baru. Upaya kearah itu jelas memerlukan waktu dan kesiapan masyarakat. Untuk itu harus ada desain kultural yang disepakati bersama agar bisa mendukung bangunan politik dengan sistem kepartaian sederhana.

Memang meskipun demikian, terdapat catatan kritis, jika menaikkan electoral threshold dari tiga persen menjadi lima persen, di Pemilu 2009 apakah akan menjamin kualitas partai akan bagus. Belum ada jaminan memang, sebaliknya memang, salah-salah langkah meningkatan electoral threshold bisa menjadi proteksi bagi partai tertentu sementara kualitas tidak dipedulikan.
****

CATATAN etis-moral lainnya, pembatasan parpol dengan mekanisme electoral threshold yang tinggi itu berpotensi membunuh hak berserikat. Sementara realitas masyarakat Indonesia beragam dan banyak aspirasi masyarakat yang belum teralurkan lewat partai politik yang ada sekarang. Lebih-lebih jika melihat bahwa kecenderungan Parpol-parpol besar sekarang ini tampak sangat Jakarta sentris dan mampu menyerap aspirasi yang sangat lokal. Sebab gejalanya, yang terjadi adalah terjadi proses oligarki partai yang lebih mementingkan kepentingan politik partainya dibandingkan dengan aspirasi masyarakat pemilih.

Dalam literatur mengenai sistem pemilihan, threshold berarti dukungan suara minimal yang harus dimiliki oleh partai atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen. Mekanisme demikian dimaksudkan untuk menciptakan sistem perwakilan dan kepartaian yang stabil. Dengen demikian, ide penyederhanaan parpol adalah sebuah kebutuhan mendesak guna menciptakan sistem multipartai terbatas. Pertanyannya adalah, bagaimana cara penyederhanaan parpol tanpa harus melanggar prinsip-prinsip demokrasi? Agar penyederhanaan parpol ini tidak terkesan dipaksa maka diperlukan rekayasa politik sedemikian rupa sehingga partai politik yang dapat mengikuti pemilu adalah parpol yang sudah terseleksi oleh rakyat.

Sejak 1999, kita sudah menerapkan electoral treshold, yakni pada Pemilu 1999 sebanyak dua persen dan Pemilu 2004 (3%). Namun penerapannya masih belum jelas karena sejumlah parpol yang tidak mencapai electoral treshold tetap dapat mendudukkan wakilnya di DPR. Padahal di berbagai Negara electoral treshold adalah ambang batas untuk bisa masuk ke parlemen.

Jika hal ini diterapkan di Indonesia, maka diperkirakan hanya ada enam parpol yang berhak mendudukkan wakilnya di parlemen sebagai hasil Pemilu 1999 dan tujuh parpol pada Pemilu 2004. Namun, yang terjadi di Indonesia adalah parpol yang tidak mencapai electoral treshold berganti nama untuk kembali dapat ikut dalam pemilu berikutnya dan tetap dapat mendudukkan wakilnya di DPR. Untuk menghindari "hilangnya" suara rakyat, suara yang diperoleh parpol yang gagal mencapai electoral treshold diberikan kepada parpol-parpol lain yang memenuhi electoral treshold dengan mempertimbangkan kesamaan ideologi partai, program kerja, maupun aliansi antar parpol yang telah dibangun sebelum Pemilu.
***

PENETAPAN electoral threshold pada dasarnya upaya untuk memastikan terjadinya keteraturan politik (political order), tentu saja, keteraturan ini diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana demoktasi dibangun tanpa keteraturan politik. Seymour Martin Lipset (1959), menegaskan bahwa keteraturan politik merupakan salah satu syarat terbangunnya demokrasi. Dengan demikian, pembatasan partai melalui mekanisme electoral threshold pada dasarnya dalam rangka menciptakan keteraturan politik. Pendek kata, penyederhanaan partai politik, pada dasarnya merupakan sebuah langkah untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

0 komentar:

Network