Susahnya Memberantas Korupsi


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 29/27 Nop-3 Desember 2006)

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dilansir Global Corruption Baromater 2005, skor Indonesia adalah 2,4. Dengan skor itu posisi Indonesia dalam pemberantasan korupsi berada pada barisan cukup bawah. Untuk menentukan perhitungan indeks persepsi korupsi (IPK), Transparency International (TI) menetapkan skala 1-10. Angka 1 merupakan terkorup, sedangkan 10 adalah negara terbersih.

Dengan skor 2,4 itu negeri ini sedikit lebih baik dari Pakistan, Kamboja, Bangladesh, Irak, dan Myanmar. Sedangkan Timor Leste masih berada di atas Indonesia dengan skor 2,6. Jelas, Indonesia berada jauh di bawah negara Asia lain seperti Singapura, Thailand, Jepang, Korsel, dan Thailand.

Sementara negara yang menempati peringkat atas, negara yang minim tingkat korupsinya adalah Finlandia, Islandia, dan Selandia Baru -- masing-masing dengan skor 9,6. Sedangkan Haiti dengan skor 1,8 atau negara paling bawah atau terkorup di dunia.

Indeks itu tentu sangat mengejutkan banyak kalangan, lebih-lebih jika melihjat kembali tingkat optimisme rakyat Indonesia dalam memberantas korupsi. Ternyata kerja selama ini hanya mendongkar angka hanya 0,2. Padahal negeri ini menempati tingkat optimismenya terhadap pemberantasan korupsi paling tinggi, yaitu 55 persen (2003), 66 persen (2004), dan 81 persen (2005). Ini yang tampak saat menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden 2004 lalu, dan tampak jelas, bagaimana rakyat pemilih menangkap atau sejalan dengan janji pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pertanyaannya, mengapa optimisme yang tinggi ini tak berkorelasi positif dengan capaian skor yang seharusnya tinggi pula? Mengapa kenaikan skor hanya 0,2?

Banyak soal memang yang menjadi penghalang dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Salah satu masalah yang sering disebut-sebut adalah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini sebagaimana disebut-sebut banyak kalangan, masih dilakukan secara "tebang pilih". Soal lain adalah adanya pertikaian destruktif antara lembaga penegak hukum, sepertipertikaian terbuka antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).

Dihilangkannya fungsi pengawasan dari KY menunjukkan bahwa MA, bukan hanya itu, bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) tak menghendaki pengawasan terhadap mereka. Padahal banyak terjadi skandal suap yang melibatkan hakim (juga polisi, jaksa, penyidik KPK, dan advokat) membuat tingkat kepercayaan publik merosot ke titik nadir. Sebab lain adalah, perlawanan balik koruptor (corruptors fight back phenomenon). Disamping itu juga melalui judicial review terhadap undang-undang yang bersemangat memberantas korupsi.Tak kalah penting, menguatnya kembali kecenderungan kroniisme yang langsung maupun tidak langsung adalah orang-orang tertentu yang dekat dengan penguasa.

****

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah menyatakan ketidakpuasannya kepada publik terhadap kinerja kepolisian dan Kejaksaan Agung (Kejagung) selama 100 hari masa pemerintahannya, terutama dalam pemberantasan korupsi. 'Presiden tak puas, karena kita ingin semuanya sesuai dengan rencana. Kalau ada hal yang belum sesuai rencana, dan untuk semuanya harus dipacu agar sesuai dengan rencana.

Masih hangat ingatan Pertemuan Presiden Yudhoyono dengan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman, berkaitan dengan 100 hari bekerjanya Kabinet Indonesia Bersatu.Pertemuan ini terkait dengan salah satu target utama Presiden pada pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu pemberantasan korupsi. Dalam pertemuan ini beliau meminta laporan hasil penyelesaian kasus-kasus yang diselesaikan kepolisian dan kejaksaan, khususnya kasus pemberantasan korupsi.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengakui sejak hari pertama menjabat, dirinya sudah memerintahkan seluruh Kejaksaan Tinggi (Kejati) untuk melaporkan jumlah perkara korupsi yang terjadi di daerahnya masing-masing. Terkait dengan keinginan Presiden mengenai perburuan pelaku korupsi, Jaksa Agung menjelaskan bahwa tim gabungan sudah dibentuk dengan melibatkan berbagai pihak.

Target kerja tim gabungan adalah melacak dan mengembalikan harta hasil korupsi yang dibawa ke luar negeri. Hanyan saja, pelaksanaan pengejaran dan penangkapan pelaku korupsi terhadang tidak adanya kerja sama ekstradisi antara Indonesia dan negara di mana koruptor bersembunyi.

Tak lupa, Jaksa Agung juga berjanji waktu itu akan membuka kembali kasus korupsi yang sudah di-SP3-kan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang telah dibuka kembali dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan.

****

Belum lama ini, wakil ketua KPK mengeluhkan persoalan dalam memberantas korupsi di negeri ini. Problem itu justru terletak pada aparat penegak hukum, yaitu jaksa, polisi, dan hakim. Banyak kasus mentok oleh karena lingkaran syetan sejak pada materi dakwaan dan banyak membuat tersangka lepas.

Masih segar dalam ingatan saat peradilan Abdullah Puteh, gubernur Aceh yang menjadi tersangka korupsi. Komisi yang khusus dibentuk untuk membasmi korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah selesai menyidik dan telah melimpahkannya ke pengadilan khusus korupsi. Celaka, hakim dan paniteranya diduga mengalami gangguan dengan mencuatnya dugaan suap. Begitu pula dengan kasus pembobolan Bank BNI. Sang pembobol, Maria Pauline Lumowa, kabur ke luar negeri. Meski wartawan bolak-balik bisa menelepon dan menemuinya di Singapura, tapi polisi yang menyidik kasus ini justru mengaku gagal menemukannya.

Di masa lalu kita gagal mengentaskan bangsa ini karena kegagalan para penyelenggara negara untuk menegakkan hukum secara tanpa pandang bulu. Di tengah-tengah situasi seperti itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berniat akan mengangkat wacana untuk bisa mengangkat Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum di luar institusi Kepolisian dan Kejaksaan. Untuk itu akan diupayakan langkah amandemen UU No.30/2002 tentang KPK.
KPK mengaku kekurangan tenaga Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum. KPK hanya memiliki total 54 orang Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum untuk menangani lebih dari 6.000 perkara.

Banyak masalah ternyata dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, itukah sebabnya peringkat IPKnya tetap beradada di urutan paling bawah?

Network