Sepak Bola dan Politik

Oleh Ellyasa KH Darwis (0pini Indonesia edisi 8)

PIALA DUNIA 2006 di Jerman, telah menjadi perhatian penghuni jagat di lintas benua. Bisa jadi, ajang piala dunia ini merupakan satu-satunya kegiatan olah raga yang demikian besar menyedot dan menyerap perhatian milyaran orang. Melalui permainan sepak bola, manusia sebagai homo luden dipertontonkan. Fair play menjadi pertaruhan dan sekaligus peradaban yang harus dijunjung dan disepakati bersama. Baik yang sportifitas dan maupun yang curang, secara cepat akan diketahui khalayak luas. Tim yang menang akan disanjung, dan sebaliknya yang lancung akan di asingkan dalam sejarah yang bisu.

Tetapi meskipun sepak bola hanya permainan, tak urung tidak bisa lepas dari kaitan dengan politik. Menjelang pelaksanaan Piala Dunia, rona dan nuansa politik terpencar. Meski tidak secara langsung, banyak agenda politik diam-diam yang semula samar dan tampak menjadi jelas.

***

PALING TIDAK, ada tiga fenomena politik yang terjadi, menjelang dan selama berlangsungnya perhelatan akbar piala dunia. Pertama, menjelang pelaksanaan digelarnya ajang piala dunia, presiden Federasi Sepakbola International (FIFA), Sepp Blatters, mengingatkan agar masalah politik jangan dibawa-bawa ke masalah sepakbola. Sinyalemen ini, terkait pernyataan presiden Iran Mahmood Ahmadinejad yang memicu reaksi kalangan politisi Jerman untuk mencoret Iran dalam putaran Piala Dunia. Seperti diketahui, presiden Iran sebelumnya memberikan pernyataan bahwa pembantaian kaum Yahudi (holocaust) oleh Nazi Jerman dalam perang dunia II hanyalah mitos yang dipakai bangsa Eropa untuk menciptakan negara Yahudi di jantung dunia Islam.

Kedua, apa yang terjadi di tanah air. Seperti diketahui, Siti Hediati Hariyadi, salah seorang putri mantan presiden Suharto menjadi host dalam acara siaran langsung sepak bola di SCTV. Tampilnya istri Prabowo, tak urung mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Lagi-lagi dikaitkan dengan agenda politik. Kalangan aktivis LSM, akademisi sampai anggota DPR menyoroti. Keluarga Cendana, lewat Titi Prabowo, disebut-sebut sedang melakukan rekayasa media untuk untuk membangun citra Cendana. Pelan tapi pasti, keluarga Cendana dituduh sedang melakukan upaya membangun citra politiknya. Jadi, melalui acara sepakbola yang ditonton oleh masyarakat itu, agenda yang tersembunyinya adalah image building keluarga Cendana terhadap masyarakat luas.
Jalan pikiran kalangan yang curiga itu menengarai ada langkah sistematis yang sudah direncanakan. Dengan menjadi host/presenter acara siaran langsung sepakbola itu, secara pasti dan mudah, anggota keluarga Cendana itu melakukan komunikasi politik secara tidak langsung dengan kalangan yang luas. Jalan pikiran seperti ini bias difahami, sebab seluruh anggota masyarakat kini tengah larut dalam gairah bola di depan layar kaca. Di sini, upaya branding dan komunikasi politik dengan mudah dilakukan. Tidak secara langsung, tapi pelan dan pasti dalam melakukan komunikasi politik dari keluarga Cendana.

Ketiga, partai politik juga melakukan acara yang sama. Dari yang paling sederhana, nonton bareng sampai menyewa halaman di media cetak untuk meliput khusus apa yang dilakukan partainya selama ajang piala dunia ini. Sebuah media harian di Jakarta misalnya, secara inten memberitakan kegiatan partai politik dalam menonton bola.
Melihat kecenderungan seperti digambarkan di atas, maka tidak salah jika perhelatan Piala Dunia sekarang ini tidak lepas dari politik. Tentu ini bukan suatu yang baru, Hitler misalnya, tanpa tedeng aling-aling memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DFB) untuk propaganda politik Nazi. Demikian juga Bennito Mussolini, yang selalu harus tampil dalam pose-pose olahraga, seperti sedang bermain anggar, tenis, atau naik kuda. Tampaknya, Musolini berkenyakinan bahwa seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan simbol kejantanan sportif. Dan melalu olah raga ini, simbol dari semengat kolektivisme yang rasional. Hal yang sama pernah dilakukan oleh dikatator Franco. Penguasa Spayol itu memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya.

****

SEPAKBOLA, sebagaimana disebut dalam The World Game, A History of Soccer merupakan olah raga yang lahir seiring dengan awal peradaban manusia. Masyarakat Mesir Kuno. Masyarakat Yunani yang memainkan dengan bola yang disebut permainan bola dengan episcuro. Permainan ini juga ditemukan pada bangsa Aztec di Benua Amerika Latin. Sementara pada masyarakat Cina, konon mengenal bola sejak era dinasti Han (206 SM) yang menyebutnya dengan Tsu Chu. Tsu. Sementara masyarakat Jepang mengenal olah raga ini pada abad ke-8, dengan memberi nama Kemari.

Jadi, permainan bola memang sudah setua peradaban manusia sendiri dan tampak universal. Ini sama dengan politik, yang juga sama tuanya dengan peradaban manusia. Satu pelajaran yang penting untuk dibincangkan adalah bagaimana politik belajar dari sepakbola. Utamanya soal bagaimana strategi dalam memenangkan permainan bola selain cantik dan indah, juga santun dan enak ditonton. Segera tampak bahwa kunci kemenangan dalam menerapkan strategi adalah menekan ambisi pribadi dan lebih menekankan kepada kerja tim. Tanpa itu, maka kemenangan akan gagal direngkuh.

***

DIMUNGKINKAN, memang dalam sepak bola terjadi manuver-manuver individual yang tidak terduga. Tetapi semua itu, tetap dalam kerangka strategi besar yang telah digariskan tim. Semua harus well kalkulatif demi mencapai kepentingan bersama, yaitu sebuah kemenangan.

Pelajaran penting lainnya, dalam sepakbola tidak ada kemenangan tanpa ada penyerangan. Permainan indah saja tidak cukup dan dianggap gagal jika tidak mampu menyarangkan bola, demikian juga total football, yang secara spartan menyerang sementara tanpa membangun pertahanan. Jadi, yang utama adalah menyerang dan mengamankan gawang. Soal, menyerang dulu baru bertahan atau sebaliknya, itu terkait soal strategi.

Yang jelas, dalam sepakbola aturan main yang disepakati bersama harus dijunjung tinggi. Pemain tidak bisa membuat aturan, sementara dalam politik para pemainlah yang membuat aturan itu sendiri.

Jadi wajar, jika dalam sepakbola pemain yang off side pasti akan kena semprit oleh wasit, sementara dalam politik off side belum tentu disemprit. Menimbang-nimbang dulu siapa yang melanggar, jika yang kelompok kecil yang tak begigi, maka hukuman akan dijatuhkan. Sebaliknya jika yang melakukan kelompok mayoritas, tidak jarang, sang wasit pun kadang lidahnya kelu meniup peluit. Itulah yang terjadi dalam dunia politik kita.***

Network