Difrensiasi Masyarakat dan Partai Politik

Ellyasa KH Darwis (Opini Indonesia edisi 07)

TIDAK bisa disangkal, Partai Politik yang mampu bertahan dengan meraup basis dukungan massa yang besar di negeri ini, masih bertumpu dan menunjukkan corak tradisionalnya. Reformasi politik dengan sendirinya telah mengantarkan terjadinya perubahan format politik baru, tetapi sayangnya, dan ini realitas politik yang ada, partai politik belum berhasil memposisikan dirinya sebagai institusi politik modern. Hal ini tampak sekurang-kurangnya dalam dua hal, Pertama, dalam menjalan fungsi dan peran masih memperlihatkan pola tradisional. Kedua, dalam membangun basis massa atau konstituen tetap mengandalkan kepemimpinan kharismatis dengan model-model afiliasi lama yang bersifat ideologis..

Wajar kemudian, apabila di semua partai politik yang ada di negeri ini, tampak gagal dalam membangun pola afiliasi baru yang mendasarkan diri kepada alasan-alasan rasional. Pola afiliasi baru tidak terbentuk, dan sebaliknya, pola afiliasi lama yang berdasarkan ikatan-ikatan ideologis atau primordialisme (agama, ras, dan etnis) tetap subur dan menjadi budaya politik yang dikembangkan oleh setiap partai politik. Suatu pola afiliasi yang oleh Geertz, disebut sebagai pola aliran.

Pola aliran seperti itu ditandai oleh dua afinitas yang satu sama lain saling mempengaruhi, yaitu faktor kebudayaan memiliki afinitas kuat dengan realitas politik, dan dengan demikian pola afiliasi politik yang berdasarkan aliran adalah cerminan dari corak kebudayaan masyarakat.
Ini agaknya yang bisa menjelaskan kecenderungan yang terjadi pada setiap Partai Politik yang ada sekarang, di mana ia tidak menunjukkan dirinya sebagai institusi politik modern, dengan sederet fungsi-fungsinya, seperti sosialisasi dan komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, kaderisasi.

Padahal dalam reformasi politik yang lalu, salah satu agenda politik strategis yang dipikirkan oleh banyak kalangan adalah, bagaimana mendorong keberadaan dan peranan partai politik sebagai institusi modern. Hal itu diperlukan, meminjam Samuel Huntington, apabila partai politik bisa bebas dari afiliasi lama dan tampil sebagai institusi politik yang rasional, maka akan bisa menjawab salah satu masalah krusial yang terjadi di beberapa negara berkembang di mana banyak mengalami kekosongan kewibawaan, kemudian diisi oleh kepemimpinan kharismatik atau kekuatan militer. Untuk meretas mata rantai seperti ini, yang bisa mengisi secara permanen adalah organisasi politik. Tentu organisai politik yang dimaksudkan adalah organisi politik yang modern, dan harapan itu dengan satu asumsi bahwa organisi politik merupakan institusi paling orisinal dalam kepolitikan modern, karena only modern political systems require institutions to organize mass participation in politics.

***

SETELAH reformasi hingga berumur sewindu, setelah booming partai politik terjadi, dan banyak partai politik tampil dalam tampuk peta kekuatan politik di negeri ini. Mulai muncul kekecewaan terhadap partai politik. Indikasinya, sangat nyata dengan mudahnya terjadi konversi pemilih ke partai lain. Di sini tampak organisasi politik sebagai satu yang berorientasi status quo dan pragmatis tanpa melihat proses difrensiasi masyarakat yang terjadi.

Sekurang-kurangnya ada dua implikasi. Pertama, masyarakat telah mengalami proses diferensiasi dalam segala seginya sebagai akibat modernisasi. Proses difrensiasi seperti akan membuat konsituen partai ini tentu dalam jangka panjang akan mendorong terjadinya perubahan aspirasi masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung, akan mendorong dan memunculkan kebutuhan adanya partai-partai politik modern sangat diperlukan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mereka yang sudah bersifat lintas sosial, lintas budaya, dan lintas agama.

Dalam masyarakat yang telah mengalami proses diferensiasi semacam itulah partai-partai politik modern akan memperoleh landasan pijak yang lebih kukuh. Maka tantangan pertama bagi parpol-parpol baru adalah lebih membuktikan dirinya sebagai partai modern yang terbuka dan demokratis dalam dirinya sendiri.
Kedua, salah satu unsur demokratis itu ialah tidak lagi mengandalkan kepemimpinan kharismatis yang dikultus-individukan. Parpol-parpol modern harus terbuka bagi setiap kader pemimpin baru yang memiliki komitmen terhadap platform partai, di samping memiliki kemampuan intelektual dan manajerial.
Di samping kepemimpinan yang tidak lagi bersifat kharismatis, sifat modern partai juga ditandai oleh semakin sedikitnya penggunaan idiom-idiom dan simbol-simbol lama yang "tradisionalis" atau "ideologis."

****

KEDEPAN, pola relasi antara partai dengan massa pendukung menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pola pembinaan dan pemeliharaan konstituen tidak lagi bisa dilakukan dengan menggunakan pola-pola lama. Partai Politik dituntut untuk mampu menangkap, mengolah, dan menyajikan isu-isu publik yang aktual dan relevan secara rasional. Untuk kemudian dijadikan menjadi program politik. Tanpa itu, maka partai politik akan kehilangan relevansi dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Tampaknya, yang akan mendapatkan tempat di negeri ini adalah partai politik yang memiliki orientasi dan mampu menjawab persoalan negeri ini ke depan. Ke depan, sejalan dengan tumbuhnya kelompok terdidik, akan tumbuh kecenderungan pemikiran politik yang berorientasi "pluralis-kritis." Kecenderungan orientasi kritis-pluralis itu tampak pada berbagai lapisan masyarakat lintas etnis dan budaya politik. Salah satu yang dominan dari arus ini adalah tuntutan untuk menegakkan rule of law, dan pembatasan kesewenang-wenangan aparat pemerintah, populis, menuntut keadilan lebih luas, emansipasi kelas bawah, serta dibongkarnya berbagai instrumen negara yang membelenggu tegaknya hak-hak politik masyarakat.

Nah, ini tantangan bagi organisasi politik kita ke depan. Pertanyaannya mau ditanggap atau dilewatkan begitu saja.

Network