Retorika Membangun Iklim Investasi


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 25, 16-22 Oktober 2006)

ADALAH Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan seminar "Tourism, Trade and Investmen Business Forum" di Pusat Niaga, arena Pekan Raya Jakarta, yang mengatakan bahwa peningkatan investasi di Indonesia secara simultan akan ikut meningkatkan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan lapangan pekerjaan di berbagai bidang. Tentu saja, statemen ini bukan suatu yang baru dan kalangan awam pun akan mengerti soal hubungan investasi dengan peningkatan perekonomian dan lapangan kerja.

Tak lupa, Wapres menegaskan bahwa sekarang pemerintah tengah melakukan berbagai upaya untuk terus menciptakan iklim investasi yang baik guna menarik masuknya investor asing ke Indonesia. Perbaikan iklim usaha dan investasi, serta peningkatan pariwisata diharapkan mampu membuka kesempatan kerja yang lebih luas bagi masyarakat.

Sampai saat ini, katanya, ada tiga masalah yang masih harus diatasi secara serius dalam dunia tenaga kerja di Indonesia yakni masalah upah minimum, masalah pengangguran yang masih tinggi dan masalah "outsourcing" (tenaga lepas). Masalah buruh, lanjutnya, bukan hanya masalah peningkatan upah tetapi juga penciptaan lapangan pekerjaan untuk mengatasi masih banyaknya pengangguran.

Pada bagian lain, Wapres menjelaskan secara panjang lebar mengenai upaya pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan iklim investasi, di antaranya dengan penegakan hukum terhadap menteri maupun mantan menteri dan pejabat lainnya yang terlibat korupsi, penciptaan keamanan, perbaikan di sektor ketenagakerjaan serta mempermudah prosedur berinvestasi.
****

TENTU SAJA, apa yang dikemukakan Wapres itu suatu yang mudah dikemukakan dan pasti susah buat dilaksanakan. Untuk itu, pemerintah harus terus mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sehingga bisa membuka kesempatan kerja lebih luas. Harus diakui, negeri ini memang (masih) memiliki peluang untuk menarik investasi, baik dari pemodal domestik maupun investor asing, karena mempunyai sumber daya alam sangat besar yang bisa diolah.
Salah satu masalah yang mengambat adalah soal ijin usaha. Sejauh pemerintah bisa menjamin kemudahan perizinan dan membuat infrastuktur yang memadai untuk menunjang kegiatan investasi, maka dengan sendirinya investor domestik dan asing akan membuka usaha di negeri ini. Tampak di sini, akar masalahnya adalah soal hambatan birokrasi yang belum efisien dan masih adanya pungutan tidak resmi, menjadi penghambat masuknya investasi, karena itu dua masalah tersebut harus bisa dihilangkan.

Kita tahu, banyak negara berlomba-lomba mempermudah perizinan dan menghapus segala biaya yang tidak ada kaitannya dengan nilai tambah produk untuk meningkatkan daya saing. Seperti dikeluhkan banyak kalangan, panjangnya rantai birokrasi yang terjadi saat pengurusan izin usaha dapat mengakibatkan lemahnya iklim investasi dalam negeri yang kini dibutuhkan guna memulihkan kondisi perekonomiaan bangsa.

Bank Dunia tahun 2006 mensinyalir untuk memulai bisnis baru di Indonesia, Industriawan harus melewati 12 jenis prosedur yang harus memakan waktu selama 151 hari. Sementara, sekedar pembanding, di Singapura untuk melakukan investasi yang hanya membutuhkan 6 prosedur dan menghabiskan waktu 6 hari pengurusan pendirian usaha baru.

Padahal kebutuhan dana investasi Indonesia pada tahun 2005-2009 mencapai rata-rata Rp4,262,7 triliun, sedangkan untuk investasi yang dibutuhkan pemerintah dalam kurun waktu empat tahun tersebut mencapai sekitar Rp684,3 triliun dan dengan target pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 6,6%. Untuk itu, konon kini pemerintah bersama dengan para pengusaha sedang melakukan berbagai langkah dalam upaya perbaikan iklim investasi di Indonesia. Langkah tersebut, mencakup penyusunan draf Undang-undang investasi yang kini diajukan ke parlemen. Usaha lain yang dilakukan adalah membentuk tim promosi ekspor dan investasi produk Indonesia, merevisi Undang-undang perpajakan serta perbaikan prosedur bea cukai yang nyatanya dapat menghambat kelancaran arus barang dan penyebab biaya tinggi di pelabuhan.

Upaya itu tentu suatu yang penting, mengingat sekarang ini daya saing industri di Indonesia mengalami kemerosotan. Tak main-main, pada tahun 1980 daya saing Indonesia menunjukkan urutan ke 42 dan pada tahun 2005 menunjukkan urutan ke 48. Pada sisi lain, negeri ini juga hanya memiliki waktu yang terbatas, dua tahun lagi untuk memasuki perdagangan global pada tahun 2010. Semua negara pesaing, seperti China, Vietnam, dan lainnya secara sistematis telah memperbaiki iklim investasinya. Indonesia diharapkan segera memperbaiki berbagai kebijakan perekonomian agar dapat menjadi pemain dalam percaturan bisnis global.
****

SERIUSKAH pemerintah mengundang Investor? Banyak masalah yang harus dibenahi dan ditata. Salah satu masalah adalah pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti jalan dan listrik. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa infrastruktur di Indonesia tidak pernah membaik, padahal hal tersebut adalah kebutuhan dasar dalam dunia industri.

Mengenai perbaikan iklim investasi yang dijanjikan oleh Presiden, Basri mengatakan yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menindaklanjuti-nya. Pemerintah sudah berjanji dari dulu untuk memperbaiki iklim investasi, salah satunya mengenai RUU Perpajakan. Tetapi buktinya sampai sekarang belum terealisasi. Sebelumnya, dalam pidato kenegaraan Presiden pernah menjanjikan akan melakukan reformasi perpajakan memegang peranan kunci dalam perbaikan iklim investasi.

Kini, yang ditunggu adalah upaya penyempurnaan sistem administrasi perpajakan di antaranya adalah perbaikan fungsi pelayanan, termasuk perbaikan tata kelola di kantor pajak, penyederhanaan Surat Pemberitahuan Tahunan, intensifikasi kepatuhan dan pengawasan, serta modernisasi fungsi pendukung.

0 komentar:

Network