Kebarakan dan Degradasi Hutan


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 19, 4-10 September 2006)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar pelaku tindakan pembakaran hutan, yang menyebabkan kabut asap di sejumlah tempat di wilayah Indonesia mendapatkan sanksi hukum tegas. Intruksi itu disampaikan kepada Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) berkenaan dengan permasalahan asap yang kembali melanda Tanah Air.

Statemen SBY ini tentu suatu yang wajar. Meskipun bukan suatu yang baru. Presiden sebelumnya, juga mengatakan hal yang sama saat menghadapi bencana kebakaran hutan yang tampaknya sudah menjadi kalender tahunan saat musim kemarau. Statement itu bisanya ditujukan kepada Para pengusaha Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, pengusaha perkebunan, masyarakat pekebun, dan petani sekitar hutan, diminta untuk tidak melakukan pembakaran atau segera menghentikan pembakaran dalam upaya pembersihan dan persiapan lahan untuk penanaman. Pembakaran dalam pembersihan dan penyiapan lahan tanaman agar segera dihentikan, karena selain menimbulkan kerugian yang besar, juga akan menimbulkan gangguan asap baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Tak lupa, biasanya disertai ancaman bahwa pembakaran yang dilakukan telah melanggar peraturan-peraturan dan dapat dikenai sanksi pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 10 milyar sesuai dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.

Peringatan itu memang harus dilakukan mengingat tingginya tingkat kerawanan dan meluasnya bahaya kebakaran lahan dan hutan dilihat dari cuaca dan sebaran hotspot (titik panas) yang ada. Sebagian besar atau 70% kebakaran terjadi di luar kawasan hutan, dan 30% kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan. Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan sebanyak 178 perusahaan yang berada di Pulau Sumatra dan Kalimantan terindikasi melakukan pembakaran hutan. Dari 178 perusahaan tersebut, 70 di antaranya beroperasi di Kalimantan, sementara 108 perusahaan lainnya di wilayah Sumatra. Kebakatan itu dilakukan secara sengaja dan berulangkali oleh perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit, termasuk hak pengusahaan hutan (HPH). Akibatnya, negara rugi hingga triliunan rupiah.

Masih menurut WALHI, dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006 total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1 persen. Disebutkannya, setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih dari 40 ribu hotspot. Angka ini menurun pada tahun 2005 menjadi 39 ribuan dikarenakan tingginya angka curah hujan pada saat itu. Lebih dari 80 persen titik api tersebut berada pada konsesi-konsesi perkebunan, HTI dan HPH.

****

Masalahnya sekarang, dalam memandang kebakaran hutan itu, cenderung tidak mau melihat akar masalah secara historis strukturalnya. Cara pandang yang selama ini berkembang, selalu parsial seolah-olah kebakaran hutan itu hanya semata-mata masalah yang berdiri sendiri. Dengan demikian, cara penanganannya pun cenderung parsial juga. Itu sebabnya, meskipun masalah kebakaran hutan ini selalu di atasi, tidak dengan sendirinya akan menjamin masalah serupa tidak akan terulang pada waktu yang akan datang.

Itu sebabnya, meskipun setiap tahun masalah kebakaran hutan ditangani tetapi tidak dengan sendirinya akan menjamin hal serupa tidak akan terulang lagi. Oleh karena itu, masalah kebarakan hutan itu harus dipandang dipandang sebagai masalah yang tidak berdiri sendiri. Ia merupakan symptom dari memburuknya kesehatan hutan alam sebagai akibat dari eksploitasi hutan alam secara masif, yang dilakukan sejak awal tahun 1970. Permintaan industri perkayuan, yang rata-rata sebesar 70 juta meter kubik per tahun, memaksa hutan kita dieksploitasi melebihi batas kemampuannya yang hanya 20 juta meter kubik per tahun.

Lambat tapi pasti, hutan mengalami gradasi. Hutan menjadi kehilangan keseim-bangan ekologis, kehilangan kelembaban mikro dan tentu saja menjadi sangat rentan terhadap kebakaran. Kondisi itu, diperparah lagi dengan kebijakan politik konversi hutan alam yang dilakukan pemerintah sebelumnya, dimana pemerintah memberi insentif kebijakan dan finansial bagi pengusaha-pengusaha membuka perkebunan mono-kultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan kebun kayu komersial (HTI).

Pemberian IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) alias kayu gratis kepada pengusaha perkebunan dan Dana Reboisasi kepada pengusaha HTI. Merupakan salah satu penyebab dan pemicu terjadinya percepatan konversi hutan alam menjadi perkebunan monokultur dan sekaligus melegitimasi pengrusakan hutan secara lebih jauh. Di sini, pengusaha memanfaatkan legitimasi itu mengeruk rejeki kayu secara rakus dengan alasan membangun hutan-hutan tanaman. Pada sisi lain, pemerintah tidak pernah berusaha menghentikan laju konversi yang telah mencapai 0,751,1 juta hektar per tahun. Industri-industri pulp dan paper dibangun dan siap berproduksi, namun hutan-hutan tanaman untuk penyuplai bahan baku belum siap.
****

Sejak kebakaran 1997 itu, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. UNDP pada 1998 membantu menghasilkan Rancangan Tindak Pengelolaan Bencana Kebakaran. Sayangnya, berbagai rancangan dan rekomendasi kebijakan tersebut tidak pernah diadopsi pemerintah..

Sementara itu, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU itu ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat. Hal yang sama juga Peraturan Pemerintah No 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, tidak satu pun ada pasal yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan.

Bahkan UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Untuk itu, menghadapi bencana tahunan ini, pemerintah harus mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang melarang dengan tegas dan memuat sanksi, baik terhadap perusahaan yang menggunakan metode bakar, maupun yang konsesinya terbakar. Mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode bakar dalam proses pembersihan lahan.

0 komentar:

Network