Hentikan Proses Hukum Lapindo?

Oleh Ellyasa KH Darwis, Opindo, edisi 17 21-27 Agustus 2006

KETUA Mahkamah Agung Bagir Manan kembali membuat pernyataan pemerintah sebaiknya menghentikan proses hukum dan jangan menempuh jalur hukum untuk mencari kesalahan Lapindo. Pernyataan itu tidak hanya mengundang reaksi banyak kalangan, tetapi juga ditengarai bisa mempengaruhi mempengaruhi proses penegakan hukum atas Lapindo. Keberatan itu sangat sangat kontroversial, disaat sudah dan tengah berlangsung tentu kita tahu perkara ini nantinya akan dilimpahkan ke pengadilan dan ada kemungkinan ke sampai ke MA. Yang lebih penting adalah bagaimana melakukan penanganan terhadap korbannya.

Tidak terlalu jelas kemana arah dari statemen ketua MA itu. Banyak pihak yang kemudian mengaitkan dengan berbagai pernyataan elit politik yang lain, seperti statemen Ketua DPR Agung Laksono, yang secara samar mengatakan soal lumpur Lapindo itu belum tentu Lapindo yang bersalah dan bisa jadi itu bencana alam. Tidak heran kemudian, muncul kerucigaan jangan-jangan dikalangan elit politik di negeri ini tengah menyusun skenerio sistematis bagaimana kasus Lumpur Lapindo Brantas ini ditetapkan sebagai bencana alam. Dengan cara demikian, maka pihak Lapindo Brantas akan terbebas dari pidana sehingga bebas dari pertanggungjawaban.

****

SEBELUMNYA beredar penjelasan bahwa bahwa Lumpur yang keluar itu bukan Lumpur subsurface (bukan Lumpur pengeboran). Mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, mengatakan, semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba- tiba bor macet. Gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa, Lumpur panas dari kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dari perut bumi juga keluar dari enam titik lainnya.

Mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, mengatakan, semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba- tiba bor macet. Gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa. Lumpur panas dari kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dari perut bumi juga keluar dari enam titik lainnya.
Pakar Geosains, mengatakan, menyemburnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas bukan merupakan bencana alam. Diduga, pada saat penggalian dilakukan, lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing. Lubang itu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta yang getarannya dirasakan sampai Sidoarjo, Malang, dan Surabaya. Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon, yang merupakan bahan baku minyak bumi, muncrat karena tekanannya sangat kuat. Prosedurnya memang lubang penggalian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan memang baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dilakukan dan minyak mentahnya telah ditemukan. Ditengarai pada saat penggalian dilakukan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing.

Jadi, semburan lumpur Lapindo tersebut disebabkan kesalahan prosedural yang mengakibatkan terjadinya blow out. Dalam blow out, gas yang dicari perusahaan naik melalui lubang bor. Secara prosedural, kalau ada gas naik akan digunakan lumpur untuk menutupnya. Namun mungkin saja gas bertekanan besar tetap mendorong lumpur dan mencari retakan lain yang ada di dalam tanah. Akibatnya, muncul gas berikut lumpur lumpur di sekitar lokasi pengeboran eksplorasi Lapindo. Lumpur yang terbawa keluar bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa juga lumpur yang menutup lapisan gas dalam tanah.

Sedangkan dugaan penyebab semburan gas dan lumpur karena gempa di Yogyakarta adalah tidak masuk akal. Perlu gempa berkekuatan 6 skala richter (SR) untuk menimbulkan rekahan seperti di Yogyakarta, sedangkan di Surabaya yang terasa kemarin paling 2 SR. Gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalau ada yang melintasi Surabaya itu adalah retakan yang melintas dari sekitar Surabaya ke arah Pacitan.

****

OPINI yang berkembang oleh banyak banyak kalangan ahli geologi dan pakar hukum lingkungan mengatakan bahwa Lapindo telah melakukan kelalaian. Lapindo, telah melakukan kejahatan korporasi sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23/1997. Dalam UU ini dengan tegas mengatur, jika terjadi kejahatan korporasi, maka komisaris sampai jajaran direksi bisa diseret ke penjara dan dikenai denda. Pengadilan juga bisa memberi hukuman tata tertib, termasuk di dalamnya menutup perusahaan atau bisa juga mewajibkan menyelesaikan seluruh dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut.

Unsur yang unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No.23/1997, sebutnya, telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut.

Pada akhinya, tulisan ini akan menegaskan beberapa hal. Pertama, sebagai orang penting di lembaga yudikatif, statemen Bagir Manan memang tidak pada tempatnya diucapkan. Langsung atau tidak langung, statemannya itu akan mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan sekarang ini. Statemen itu juga bisa mengurangi gairah aparat penegak hukum untuk secara serius melakukan proses hukum. Ketiga, statemen itu juga bisa merupakan tengara bagi MA sikap lembaga tinggi itu, jika pada suatu saat proses hukum Lapindo akan sampai ke MA. Ketiga, secara moral politik, statemen itu menyakiti keadilan masyarakat Porong yang sekian lama menerima getah dari semburan Lapindo Brantas yang sekian lama menderita dan telah merubah pola hidup keseharian mereka sejak Lumpur meluber. Di sini, tampak keperpihakan ketua MA itu sendiri, yang tampaknya sejalan dengan pandangan pihak Lapindo Brantas dan beberapa elit politik, yang memandang bahwa kasus Lumpur itu merupakan bencana, sehingga sebagai korporasi Lapindo Brtantas tidak perlu mempertanggungjawabkan di muka hukum

0 komentar:

Network