"Anakmu Bodoh, Anakmu Tak Lulus"

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo edisi 10/juli/2006)

"Karena anakmu terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran serta menghambat kemajuan proses pelajaran sekolah, dan demi rasa tanggung jawab kami terhadap murid-murid yang lain, maka kami sangat mengharapkan agar anak ini secara terhormat menarik diri sendiri dari sekolah."

BEGITU isi surat pihak sekolah yang ditujukan kepada salah seorang wali murid.Tentu, setelah menerima surat itu si orang tua jadi miris dan hatinya luka. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak percara jika anaknya terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran sekolah. Air mata seorang ibu pun berlinang membasahi pipi. Pada saat yang sama, seorang ibu itupun kemudian mengepalkan tangannya seraya berkata, "Kalau guru tidak bisa mengajarnya, aku akan menjadi guru bagi anakku sendiri."

Anak yang divonis terlalu bodoh itu, tidak lain adalah Thomas Alfa Edison, yang kemudian mengubah arah perkembangan dunia. ‘Si dungu’ tapi ternyata jenius itu, lahir pada tanggal 11 Februari 1847 di Milan, Ohio, buah hati Samuel Edison Jr dan Nancy Elliot Edison. Belakangan diketahui, vonis bodoh dan dungu yang dilekatkan kepada bungsu dari tujuh bersaudara, tidak lain lantaran rejim pengajaran yang berkembang waktu itu lebih mementingkan hafalan. Bagi orang semacam Edison, lebih-lebih ia mengalami difabel (different ability) karena terganggu pendengarannya, tentu sistem pengajaran seperti sangat tidak pas baginya. Kelebihan Edison yang sangat menonjol adalah ia suka mengamati dan menyelidiki. Ibunyalah yang mengetahui sehingga kemudian menjadi "Raja penemu " tersohor. Dengan kasih sayang dan kesabarannya.

Buku yang paling berjasa dan mempengaruhinya adalah bukunya Michael Faraday tentang "percobaan elektro". Dari sini kemudian dia melalukan banyak eksperimen, menghapus perasaan takut terhadap ilmu pasti, hal ini besar bantuannya terhadap penemuannya kelak. Jika kita sekarang bisa menikmati listrik, telepon, film di layar lebar, maka itu berkat temuan dari Edison.

Berkat sang ibu, prestasi luar biasa dicatat. Sampai dengan akhir hayatnya ia telah mencatat 1.093 ciptaannya yang telah dipatenkan. Dari berbagai sumber menyebutkan, kunci penemuannya adalah berangkat dari pertanyaan “bagaimana cara membuatnya?". Ini agaknya kunci dari keberhasilan dari intelektual Edison. Lebih menitik beratkan kepada otak kiri yang kritis dan tajam. Sudah pasti, otak kiri yang kritis itu sangat susah untuk menghafal pelajaran.


***

SUDAH lama lembaga sekolah menjadi sasaran kritik bahkan tak ubahnya sebagai penjara. Salah satunya, adalah Rabindranath Tagore, seorang pujangga dari India. Baginya tidak setitik asa pun yang bisa diharapkan dari institusi bernama sekolah. Merujuk pada pengalaman dirinya sewaktu sekolah, yang disebutnya tak ubahnya "siksaan tak tertahankan". Ia pun kemudian memilih tidak sekolah saat usianya masih belia, 13 tahun. Meskipun demikian, dunia tahu, ia dalah penerima hadiah Nobel Kesusastraan. Dengan getir ia menuturkan, bahwa semasa mengikuti pendidikan di sekolah tak ubahnya seorang yang tidak memiliki kemerdekaan.

Salah satu masalah yang mendasar adalah, sebagaimana ditulis Ivan Illich, dalam De Schoolling Society. Dalam buku yang momental itu, ia menegaskan bahwa seharusnya tujuan pendidikan itu tidak hanya mengantarkan manusia kepada hakikat diri tetapi juga sebagai untuk pencerdasan sosial. Dengan demikian, proses pendidikan itu pada dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku. Dengan titik tekan yang berbeda, Paulo Freire, menekankan bahwa cita-cita pendidikan paling luhur yaitu menjadikan manusia yang sesungguhnya. Yaitu manusia yang menyadari dirinya sebagai aktor aktif, bertanggung jawab terhadap segala peristiwa. Dengan titik padan seperti itu, maka pendidikan itu pada dasarnya merupakan proses humanisasi terhadap nasib kemanusiaan.

Gagasan itu sangat radikal. Titik pancangnya berangkat dari realitas yang terjadi di Brasil, di mana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Dalam konteks seperti itu, maka pendidikan tak bisa dipisahkan dari penyadaran (conscientizaĆ§Ć£o), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Kritiknya yang paling pedas diarahkan kepada metode pendidikan. Alumni pendidikan hanya menjadi pelayan kepentingan penguasa, dengan sistem yang pedantik dan berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.
****

DALAM kita sedang menghadapi persoalan yang hampir serupa, anak-anak yang tidak lulus dalam Ujian Nasional oleh pejabat negeri ini disebut sebagai anak yang malas dan tidak peduli dengan masa depannya. Wapres dengan tegas menyalahkan dan menuding anak, orang tua dan guru sebagai pihak yang tidak serius sehingga tidak lulus dalam Ujian Nasional.

Padahal banyak kalangan, termasuk pakar pendidikan, yang mengatakan bahwa menentukan kelulusan hanya berdasarkan tiga mata pelajaran semata (bahasa Indonesia, Matematika dan Inggris) sebagai suatu yang menyederhanakan masalah. Tidak jelas juga apa argumen filosofis pengambil kebijakan sehingga hanya mematok tiga mata pelajaran itu saja yang di ujikan dalam UAN. Yang pasti, kebijakan ini tampak tidak dilandasi oleh satu argumen yang jelas dan bisa diterima.

Kritik yang paling mendasar adalah, bahwa hasil UN itu tidak mencerminkan peningkatan mutu akademik. Mengapa? banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara terkait langsung dengan pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Kedua, menentukan kelulusan hanya berdasarkan UN bertentangan dengan prinsip penilaian berbasis portofolio0 yang ada dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Itu sebabnya, jika apa yang dilakukan siswa selama ini menjadi tidak ada artinya, karena tidak menjadi penentu kelulusan.

Dengan sistem ujian seperti ini, jangan-jangan pengambil kebijakan pendidikan negeri ini mengulang apa yang pernah menimpa Edison, hanya karena sistem yang tidak tepat, malah yang jadi korban siswa yang terbaik.

0 komentar:

Network