“Hai Orang Arab,Datanglah Ke Puncak….”

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo edisi 11/Juli 2006)

ADALAH Wakil Presiden Mohammad Yusuf Kalla, dalam sebuah seminar tentang Promosi Turisme di Puncak, Bogor (28 Juni) yang mengatakan bahwa tidak ada masalah jika turis timur tengah mencari janda di kawasan Puncak. Dalam pandangan orang nomor dua dan orang nomor wahid di Partai Golkar itu, turisme dari Arab itu akan membawa banyak keuntungan bagi janda tersebut dan anak-anaknya. Bahkan jika orang Timur Tengah itu kemudian meninggalkan janda tersebut, tetap tidak akan menjadi persoalan karena setidaknya turis itu meninggalkan anak dengan gen yang bagus. Anak-anak dengan rupa yang menawan itu akan laku menjadi aktor dan aktris televisi.
Untuk menunjukkan statemennya itu, tak lupa JK menunjuk apa yang terjadi di Batam dan Jawa Barat dimana banyak perempuan lokal yang menjalin hubungan singkat dengan orang asing, melalui kawin kontrak.

****

BISA jadi, apa yang dikemukakan JK itu terkait dengan target yang telah dipatok pemerintah akan menggait sedikitnya 250.000 wisatawan asal Timur Tengah pada 2007. Untuk itu akan dilakukan promosi dan penggarapan objek wisata bagi wisatawan di kawasan itu. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan potensi pasar wisatawan dari Timur Tengah sangat besar dilihat dari jumlah penduduk yang bepergian ke luar negeri (outbound). Mengacu kepada data Arabian Travel Monitor, jumlah outbound dari lima negara di kawasan itu, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman dan Bahrain, mencapai 8,8 juta orang pada 2005. Sebelum tragedi World Trade Center pada 2001, perjalanan wisatawan Timur Tengah lebih banyak ke Eropa dan AS, sekarang mereka beralih ke Asia Pasifik. Ini peluang untuk menarik mereka berkunjung ke Indonesia. Untuk mencapai target itu, Direktur Jenderal Pemasaran dan Promosi Pariwisata Depbudpar mengalokasikan dana Rp 9 miliar untuk promosi dan pemasaran pariwisata. Dana sebesar itu, kabarnya juga masih kurang, idealnya Rp32 miliar.

Data statistik menjunjukkan, dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand, Indonesia terlambat mengantisipasi dan merebut peluang. Data mutakhir menunjukan wisatawan Timteng ke Thailand pada 2004 mencapai 292.680 orang, Malaysia 100.873 orang dan Singapura 69.800 orang, sementara ke Indonesia hanya 38.337 orang. Sementara kunjungan wisatawan Timteng ke Indonesia sekitar 40.000 orang, namun dibandingkan negara tetangga. Kecenderungan yang terjadi pada tahun 2005, misalnya wisatawan Timteng ke Malaysia mencapai 95.093 orang, Thailand 177.796 orang dan Singapura 53.723 orang. Dalam pandangan pemerintah, peluang untuk meraih lebih banyak wisatawan dari kawasan Timteng itu bukan hal mustahil. Syaratnya, satu, melakukan promosi, penggarapan objek wisata dan menyesuaikan apa yang dibutuhkan oleh wisatawan dari wilayah itu. Untuk itu banyak yang harus dibenahi,. Diantaranya masalah pelayanan yang harus diperbaiki, seperti petunjuk di tempat umum seperti Bandara Soekarno-Hatta dengan menggunakan tulisan Arab sehingga bisa lebih dipahami oleh turis asal wilayah itu, tersedianya pemandu wisata yang mengerti bahasa Arab, dan mengemas paket-paket wisata yang disenangi oleh wisatawan itu.

****

THANH-DAM TRUONG, dalam bukunya Sex, Money and Morality menggambarkan bagaimana proses eksploitasi perempuan itu terjadi di negeri Gajah Putih itu. Atas nama kemiskinan dan pembangunan, perempuan-perempuan di negeri itu kemudian menjadi pesona dan sarana pemikat wisman. Ideologi patriarkhi sangan jelas digambarkan. Salah satu iklan sebuah biro perjalanan di Europa dalam brosurnya menawarkan demikian, “ kesempatan bagi anda untuk menemukan diri sendiri…serta berjumpa dengan seorang yang sangat istimewa, dan ketika keakraban telah tercipta….pergi ke suatu tempat untuk menemukan diri, satu sama lain…”.

Demi devisa, Tailand menghalalkan sex tourism. Biaya sosial—termasuk biaya kesehatan dan korban yang tak terukur oleh uang baik yang sampai meninggal maupun sakit sampai menular ke anak-anak—harus dibayar oleh Thailand. Negeri yang dulu dimashurkan oleh penyakit Vietnam Rose yang dibawa tentara Amerika untuk berlibur dan menjalani rest and recreation ke Bangkok dan Pattaya itu, memang di terkenal dengan budaya playground dimana sand, sun. sea, sex and servility-nya.

Agaknya JK lupa, pendahulunya Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1946–1947 mengerahkan para pemikir untuk menyusun Plan Ekonomi, menekankan pariwisata tanpa seks. Pariwisata mendapat perhatian untuk dijadikan penguat perekonomian nasional. Pada 1950-an berdiri Yayasan Tourisme Indonesia yang lalu menjadi Dewan Tourisme Indonesia dan sesudah 1959 menjadi Dewan Pariwisata Indonesia (Depari). Kemudian dibentuk birokrasi kepariwisataan, yang diintegrasikan pada Departemen Perhubungan. Pada tahun 1980-an pun Indonesia mengenal Bapparnas (Badan Perencanaan Pariwisata Nasional) yang ditangani sejumlah menteri dan para eksponen asosiasi industri pariwisata dan tokoh masyarakat.

Naiknya kepariwisataan kita pasca-Konferensi PATA 1963 dengan kedatangan wisatawan asing yang ketika itu baru mencapai belasan ribu dan meningkat berlipat ganda sampai menjelang krisis ekonomi 1997 mencapai lima jutaan –tanpa wisata seks—harus kita artikan: kita sebenarnya sudah pada jalur yang benar dalam mengelola kepariwisataan.

****

JELAS, apa yang pernyataan JK diatas telah bertententangan dengan konvensi PBB tentang anti diskriminasi (CEDAW) dan konvensi ILO. Konsepsi PBB tentang trafficking sangat jelas, “Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman,atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekerasan, atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi”.

Oleh karena itu wajar jika banyak yang terkejut, negeri yang telah meratifikasi konvensi anti diskriminasi (CEDAW) dan konvensi ILO, harusnya pemerintah serius berupa pencegahan (prevention), perlindungan (protection) dan penindakan hukum kepada pelaku (prosecution) terhadap semua bentuk perdagangan manusia. Termasuk JK sendiri tentunya***

0 komentar:

Network