Identitas Primordial

Oleh Ellyasa KH Darwis

Opini Indonesia edisi 06/
Salah seorang pengamat social politik mengatakan bahwa pasca jatuhnya regim politik Orde Baru, kita sedang mengalami apa yang disebut sebagai atomisasi masyarakat. Pada setiap lapisan masyarakat terpecah-pecah dan mengelompok dalam kelompok-kelompok kecil yang satu sama lain cenderung tidak bisa menyatu..
Banyak factor yang mendorong, bisa masalah SARA, politik maupun ekonomi. Gejala yang paling dominan yang muncul selama ini, masyarakat lebih mengkristal oleh karena sentiment suku dan agama, sebagaimana tampak dalam bentuk berbagai organisasi masyarakat dengan icon agama dan suku.

Bagaimana fenomena seperti ini muncul? Tentu saja tidak ada jawaban yang tunggal dan sekaligus bisa memuaskan semua kalangan. Tetapi salah satu yang kerap menggema dari organisasi masyarakat semacam ini adalah sebagai wujud artikulasi akan eksistensi dirinya yang selama ini terpinggirkan oleh karena kebijakan pembangunan masa lalu yang tidak ramah dan memberi ruang. Kelompok masyarakat dalam posisi ini, dalam dirinya terbangun kesadaran kelompok bahwa selama ini secara sistematis terjadi proses aboriginisasi.

Penjelasan lain, salah satu cara untuk bertahan terhadap perubahan social politik yang cepat, maka salah satu benteng yang bisa menjadi pertahanan adalah dengan cara menegaskan identitas diri. Melalui penegasan identitas seperti itu, akan terbangun kesadaran dan solidaritas anggota kelompok. Dengan kata lain, penegasan identitas seperti itu merupakan wahana ekspresi dan sekaligus peneguhan akan eksistensi diri dan kelompoknya. Dari sini posisi diri, eksistensi kelompok dan juga kepentingan social politik dan budayanya diartikulasikan.

Memang peneguhan diri seperti itu, merupakan satu yang wajar dilakukan oleh komunitas manapun, lebih-lebih jika berhadapan dengan masalah yang mengancam eksistensi. Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah, apa yang dilakukan oleh masyarakat muslim. Di Eropa misalnya, banyak orang muslim yang mengelompok dalam kelompok-kelompok kecil dan kemudian mereka aktif dalam satu kelompok sambil menegaskan dirinya, bahwa ia adalah komunitas muslim. Ekspresi seperti ini, tentu saja wajar, lebih-lebih ketika dirinya dalam posisi minoritas.

Masalahnya, yang terjadi belakangan di negeri ini, fenomena menguatnya kelompok masyarakat dalam ikatan identitas agama dan suku tidak semata-mata penegasan identitas cultural semata. Semua tentu maklum dan sekaligus menaruh empati sedalam-dalamnya terhadap kelompok masyarakat yang secara sistematis disingkirkan. Perasaan seperti ini, hampir menjadi ungkapan yang jamak diberbagai daerah di negeri ini.

Tetapi masalah ini jika tidak disikapi secara dingin dan melahirkan dan mengantarkan kepada kecenderungan yang destruktif dan sifatnya horizontal. Padahal jelas, kesenjangan yang terjadi sekarang ini tidak lain merupakan buah kebijakan politik yang sifatnya structural pada masa lalu. Jika demikian masalahnya, mengapa kegeraman dan kemarahan yang selama ini ada tidak diartikulasikan dengan cara yang dingin dengan mendesak kebijakan yang lebih memihak kepada kelompok masyarakat. Jika perlu, menuntut kebijakan affirmative action sebagai kompensasi atas kebijakan masa lalu yang tdiak ramah.

Jalan seperti ini, secara tidak langsung dilakukan oleh masyarakat Papua dan Aceh. Melalui kebijakan otonomi khusus, propinsi ini meminta kompensasi atas kebijakan masa lalu yang selain tidak ramah juga meminggirkan eksistensi masyarakat.

Disini memang ditentukan kearifan dan cara pandang yang dingin melihat situasi. Saluran politik, tentu sangat mudah dan terbuka untuk menuntut akomodasi politik. Tumbuhnya berbagai Ormas yang berbasis pada primordial, hendaknya ditempatkan hanya sebagai alat bukan tujuan. Tumbuhnya ormas seperti ini, suatu yang wajar yang biasanya tentative. Yang menjadi persoalan adalah ketika organisasi itu menjadi tujuan dan biasanya, melupakan kepada gairah awal yang melataribelakangi pendiriannya.

Jamaknya, organisasi seperti itu bersifat ad hoc dan berfungsi sebagai pressuare groups untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan politik. Tentu dengan perjuangan politik seperti ini, membutuhkan keuletan dan kegigihan dalam mengorganisir massa. Lobby dan negosiasi politik, menjadi garapan yang harus terus menerus dilakukan.

Serangkaian kegiatan yang membangun aliansi strategis jangka panjang, harus dilakukan secara intens. Di sini, tentunya membutuhkan komunikasi politik yang santun dan berorientasi kepada tujuan perubahan kebijakan politik yang menjamin terakomodasinya kepentingan kelompoknya.

Tentu saja, hal itu bukan sutau yang mudah. Tidak ada kebijakan politik yang terjadi hanya karena sim salam bim atau abra kadabra seperti yang terjadi dalam negeri dongeng.

Salah satu masalah yang terjadi sejak reformasi politik negeri ini adalah maraknya organisasi masyarakat berbasis agama dan suku, yang dalam mengartikulasikan aspirasi politiknya secara instant. Untuk mendesakkan kepentingan social ekonomi misalnya, lebih vocal dilakukan melalui aksi jalan dan agak enggan melalui mekanisme politik yang berlaku.

Demikian juga dalam menghadapi masalah pelanggaran moral, mereka langsung mengambil alih peran penegak hukum dengan melakukan tindakan langsung ke lapangan. Tindakan seperti ini, tentu saja, meskipun untuk tujuan mulia tetapi jelas sudah melampaui batas wewenangnya. Selain itu, juga potensial memicu terjadinya konflik horizontal dan salah-salah bisa menimbulkan anarkhi. Tidak bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika setiap kelompok masyarakat atas nama penegakan hukum, melakukan tindakan penegakan hukum sendiri.

Nah, untuk tidak memicunya ketegangan. Paling tidak ada dua pihak yang berkompeten yang harus tanggap. Pertama, pembuat kebijakan harus arif dan bijaksana dalam melihat realitas social politik di mana banyak kelompok masyarakat yang secara sistematis teraboriginisasi. Kedua, penegak hukum juga harus tanggap dan siap menindak setiap pelanggaran hukum yang terjadi. Lebih-lebih yang terkait dengan perjudian dan susila. Ya semua gambang diucapkan tapi tentu pelik dalam penerapan. Pada sisi lain, juga harus tegas jika terjadi tindakan aksi sepihak. Jika tidak, maka kewibawaan negara tidak ada. Tak ubanhya stateless saja……..

0 komentar:

Network