Sungguh mati saya tidak kaget ketika banyak elit politik negeri ini memanfaatkan prestasi Timnas dalam AFF 2010. Ketika para menteri, Presiden dan elit partai ramai-ramai memberi apresiasi terhadap prestasi Timnas. Tak cuma itu, saat elit Partai Demokrat seolah-olah kebakaran jenggot saat para pemain Timnas, tiba-tiba oleh ketua PSSI Nurdin Halid yang nota bene orang Golkar ‘menggelandang’ seluruh pemain untuk bertemu dengan Ketua Umum Partai GOLKAR Aburizal Bakri. Sementara selang beberapa waktu, Menpora yang hendak melakukan hal serupa dengan cover jamuan makan malam sewaktu di Malaysia, justru tidak terlaksana
Bukan hanya itu, para pemimpin partai lain, yang selama ini tidak kenal atau paling tidak pernah didengar hobi menonton bola pun tak mau kehilangan panggung. Saat pertandingan Leg 1 di Bukit Jalil misalnya, pun ikut-ikutan melurug ke Malaysia sekedar menjadi penonton. Dengan demikian, paling tidak namanya diketahui publik ikut menonton sepak bola.
Usai kalah pada Leg 1, menjelang Leg 2 pun, para elit politik memberi tetap semangat memberi perhatian seraya meminta kepada segenap rakyat untuk membantu dengan do’a agar Timnas menang.
Apa sebenarnya yang hendak ditampilkan dari semua itu, tidak lain adalah politik perhatian. Para elit sedang berkompetisi di hadapan publik untuk memberi perhatian terhadap sepak bola kita yang mulai naik. Para elit sedang menunjukan perhatiannya, mengekspresikan harapannya terhadap keberhasilan tim nasional. Dengan demikian pamornya juga naik sebagai sosok yang memiliki perhatian terhadap sepak bola.
Mengapa demikian? Para elit itu sesungguhnya sedang mengendarai arus masa yang demikian besar harapannya agar PSSI, yang selama ini miskin prestasi bisa kembali ke tampuk masa kejayaannya. Antuasisme masyarakat yang besar, sudah tentu, merupakan momentum yang oleh para elit akan dibiarkan. Dengan menyatu, larut dalam arus antusiasme masa, pada dasarnya para elit sedang melakukan investasi politik. Ia sedang menyakinkan kepada penggemar sepak bola, seluruh rakyat Indonesia, ia memiliki kesamaan harapan dan mendukung kemajuan sepak bola. Pada saatnya kelak, investasi politik itu akan dikapitalisasi dalam momentum Pemilu. Formulasi kapitalisasinya seperti apa, memang belum bisa dibaca sekarang ini.
****
Contoh bagus yang bisa dikemukakan di sini, barangkali adalah Mantan Perdana Menteri Italia, Berlusconi, merupakan contoh yang paling pas seorang politisi memiliki klub sepak bola, yakni AC Milan Dia juga adalah pemimpin partai Forza Italia yang dibentuk khusus pada 1994 untuk keikutsertaannya dalam politik . Ia menjadi Perdana Menteri selama tujuh bulan (10 Mei 1994-17 Januari 1995), namun pada 2001, ia kembali diangkat ke dalam jabatan itu. Pemimpin yang sering membuat keputusan aneh dan sering terkait skandal sex itu, adalah politisi yang memanfaatkan sepak bola untuk karir politiknya.
CNN pernah melaporkan apa yang dilakukan Besluconi pada dasarnya adalah untuk meningkatkan elektabilitas dirinya dalam Pemilu. Untuk mendongkrak namanya dan memenuhi harapan penggemar AC Milan misalnya, tak segan-segan membeli beberapa nama besar untuk meningkatkan popularitasnya, seperti Robinho dan Ibrahimovic. Ia sadar betul memanfaatkan Milan sebagai kendaraan publisitas besar dan suka bersaing dengan pemain besar-nama yang dapat menarik Ini semua bagian dari gambar, itu sebabnya David Beckham telah dua kali bermain di sini.. Keberhasilan AC Milan pasti membantu mendorong aspirasi politik Berlusconi dan telah mengantarkannya duduk sebagai PM Italia. Ia berhasil memanfaatkan fanatisme massa pecinta sepakbola, sebagai alat direct selling suara guna memenangkan pencalonan dirinya, serta memperkuat posisi politiknya.
Musolini misalnya, dikator fasis Italia itu, disamping ia dikenal suka olah raga, acapkali merasakan dirinya untuk tampil dan ditampilkan dalam pose-pose olahraga, seperti bermain anggar, tenis, atau naik kuda. Ia juga sering berada di tengah-tengah tim sepak bola. Pada Piala Dunia 1934, sang diktator memaksakan untuk digelar di Italia, dan kesebelasan nasional Italia dipaksa harus menang meski harus "mati" di lapangan.
Contoh yang lebih banal adalah Adolf Hitler yang memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DFB) untuk propaganda politik Nazi. Sepak bola bagi Hitler adalah simbol ke-perkasaan seorang menusia dalam menunjukkan eksitensi diri, kelompok, dan bangsanya di hadapan publik. Bos Nazi itu subsidi kepada 10.000 fans agar bisa melakukan perjalanan ke Inggris guna mendukung tim nasional Jerman, untuk tujuan propaganda. Meskipun begitu ia sangat jarang menyaksikan langsung pertandingan di lapangan. Satu-satunya partai Jerman yang disaksikan langsung oleh Hitler adalah ketika tim Panser bermain melawan Norwegia saat Olimpiade Berlin 1936. Saat itu Jerman kalah 0-2. Ketika terjadi gol kedua, Hitler tengah bersiap-siap meninggalkan stadion. Menurut orang kepercayaan Hitler, Joseph Goebbels, bosnya itu sangat gelisah ketika Jerman tertinggal.
Junta militer di Argentina, juga pernah melakukan hal yang sama. Jenderal Jorge Videla memanfaatkan Sepak Bola untuk menebar kekuasaan. Hal ini terutama sangat terlihat saat Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia tahun 1978.
Junta militer Argentina menarik perhatian rakyat, di antaranya dengan menguasai sekolah dan rumah sakit hingga menghapuskan kredit yang berjumlah hingga jutaan dollar. Usaha-usaha itu membuahkan hasil. Saat Argentina juara, jalanan dibanjiri orang yang mengelu-elukan para jenderal yang berdiri di balkon istana presiden.
*****
Apa yang saya tulis di atas, adalah dasar saya mengawali tulisan ini dengan “Sungguh mati saya tidak kaget ketika banyak elit politik negeri ini memanfaatkan prestasi Timnas dalam AFF 2010. Tentu saja bukan berarti saya mengamini, menggaris bawahi, dan menyetujui kecenderungan perilaku politik para elit pada ajang AFF kali ini.
Saat ada tanda-tanda prestasi naik, meskipun baru di tingkat Asia Tenggara, para elit politik ramai-ramai menunjukan perhatian terhadap sepak bola. Melihat harapan yang besar dari masyarakat Pastilah elit politik kita menyadari harus ‘ikut bermain’ dan memanfaatkan gairah masyarakat yang menghendaki timnas mengunduh kemenangan
Bagi saya, apa muncul di publik, tak lebih sebagai keculasan politik dimana para elit hanya mau menunggangi hasilnya. Perhatian mestilah ditunjukan, melalui kebijakan yang sistematis. Memfasilitasi segala hal yang memungkinkan prestasi sepak bola berkembang secara konstan.
Memberi perhatian saat berprestasi, merupakan politik jalan pintas, hanya mau enaknya saja. Persis seperti kultur dan perilaku politik politisi kita selama, hanya mau memberikan perhatian kalau menguntungkan secara politik. Dapat nama dan bisa menaikan pamor, untuk kemudian dikapitalisasi pada saat yang diperlukan.
Mari kita nantikan apakah perhatian para elit politik, ‘syahwatnya’ masih besar setelah Tim Garuda gagal memboyong Piala AFF tahun 2010 ini?
Bukan hanya itu, para pemimpin partai lain, yang selama ini tidak kenal atau paling tidak pernah didengar hobi menonton bola pun tak mau kehilangan panggung. Saat pertandingan Leg 1 di Bukit Jalil misalnya, pun ikut-ikutan melurug ke Malaysia sekedar menjadi penonton. Dengan demikian, paling tidak namanya diketahui publik ikut menonton sepak bola.
Usai kalah pada Leg 1, menjelang Leg 2 pun, para elit politik memberi tetap semangat memberi perhatian seraya meminta kepada segenap rakyat untuk membantu dengan do’a agar Timnas menang.
Apa sebenarnya yang hendak ditampilkan dari semua itu, tidak lain adalah politik perhatian. Para elit sedang berkompetisi di hadapan publik untuk memberi perhatian terhadap sepak bola kita yang mulai naik. Para elit sedang menunjukan perhatiannya, mengekspresikan harapannya terhadap keberhasilan tim nasional. Dengan demikian pamornya juga naik sebagai sosok yang memiliki perhatian terhadap sepak bola.
Mengapa demikian? Para elit itu sesungguhnya sedang mengendarai arus masa yang demikian besar harapannya agar PSSI, yang selama ini miskin prestasi bisa kembali ke tampuk masa kejayaannya. Antuasisme masyarakat yang besar, sudah tentu, merupakan momentum yang oleh para elit akan dibiarkan. Dengan menyatu, larut dalam arus antusiasme masa, pada dasarnya para elit sedang melakukan investasi politik. Ia sedang menyakinkan kepada penggemar sepak bola, seluruh rakyat Indonesia, ia memiliki kesamaan harapan dan mendukung kemajuan sepak bola. Pada saatnya kelak, investasi politik itu akan dikapitalisasi dalam momentum Pemilu. Formulasi kapitalisasinya seperti apa, memang belum bisa dibaca sekarang ini.
****
Contoh bagus yang bisa dikemukakan di sini, barangkali adalah Mantan Perdana Menteri Italia, Berlusconi, merupakan contoh yang paling pas seorang politisi memiliki klub sepak bola, yakni AC Milan Dia juga adalah pemimpin partai Forza Italia yang dibentuk khusus pada 1994 untuk keikutsertaannya dalam politik . Ia menjadi Perdana Menteri selama tujuh bulan (10 Mei 1994-17 Januari 1995), namun pada 2001, ia kembali diangkat ke dalam jabatan itu. Pemimpin yang sering membuat keputusan aneh dan sering terkait skandal sex itu, adalah politisi yang memanfaatkan sepak bola untuk karir politiknya.
CNN pernah melaporkan apa yang dilakukan Besluconi pada dasarnya adalah untuk meningkatkan elektabilitas dirinya dalam Pemilu. Untuk mendongkrak namanya dan memenuhi harapan penggemar AC Milan misalnya, tak segan-segan membeli beberapa nama besar untuk meningkatkan popularitasnya, seperti Robinho dan Ibrahimovic. Ia sadar betul memanfaatkan Milan sebagai kendaraan publisitas besar dan suka bersaing dengan pemain besar-nama yang dapat menarik Ini semua bagian dari gambar, itu sebabnya David Beckham telah dua kali bermain di sini.. Keberhasilan AC Milan pasti membantu mendorong aspirasi politik Berlusconi dan telah mengantarkannya duduk sebagai PM Italia. Ia berhasil memanfaatkan fanatisme massa pecinta sepakbola, sebagai alat direct selling suara guna memenangkan pencalonan dirinya, serta memperkuat posisi politiknya.
Musolini misalnya, dikator fasis Italia itu, disamping ia dikenal suka olah raga, acapkali merasakan dirinya untuk tampil dan ditampilkan dalam pose-pose olahraga, seperti bermain anggar, tenis, atau naik kuda. Ia juga sering berada di tengah-tengah tim sepak bola. Pada Piala Dunia 1934, sang diktator memaksakan untuk digelar di Italia, dan kesebelasan nasional Italia dipaksa harus menang meski harus "mati" di lapangan.
Contoh yang lebih banal adalah Adolf Hitler yang memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DFB) untuk propaganda politik Nazi. Sepak bola bagi Hitler adalah simbol ke-perkasaan seorang menusia dalam menunjukkan eksitensi diri, kelompok, dan bangsanya di hadapan publik. Bos Nazi itu subsidi kepada 10.000 fans agar bisa melakukan perjalanan ke Inggris guna mendukung tim nasional Jerman, untuk tujuan propaganda. Meskipun begitu ia sangat jarang menyaksikan langsung pertandingan di lapangan. Satu-satunya partai Jerman yang disaksikan langsung oleh Hitler adalah ketika tim Panser bermain melawan Norwegia saat Olimpiade Berlin 1936. Saat itu Jerman kalah 0-2. Ketika terjadi gol kedua, Hitler tengah bersiap-siap meninggalkan stadion. Menurut orang kepercayaan Hitler, Joseph Goebbels, bosnya itu sangat gelisah ketika Jerman tertinggal.
Junta militer di Argentina, juga pernah melakukan hal yang sama. Jenderal Jorge Videla memanfaatkan Sepak Bola untuk menebar kekuasaan. Hal ini terutama sangat terlihat saat Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia tahun 1978.
Junta militer Argentina menarik perhatian rakyat, di antaranya dengan menguasai sekolah dan rumah sakit hingga menghapuskan kredit yang berjumlah hingga jutaan dollar. Usaha-usaha itu membuahkan hasil. Saat Argentina juara, jalanan dibanjiri orang yang mengelu-elukan para jenderal yang berdiri di balkon istana presiden.
*****
Apa yang saya tulis di atas, adalah dasar saya mengawali tulisan ini dengan “Sungguh mati saya tidak kaget ketika banyak elit politik negeri ini memanfaatkan prestasi Timnas dalam AFF 2010. Tentu saja bukan berarti saya mengamini, menggaris bawahi, dan menyetujui kecenderungan perilaku politik para elit pada ajang AFF kali ini.
Saat ada tanda-tanda prestasi naik, meskipun baru di tingkat Asia Tenggara, para elit politik ramai-ramai menunjukan perhatian terhadap sepak bola. Melihat harapan yang besar dari masyarakat Pastilah elit politik kita menyadari harus ‘ikut bermain’ dan memanfaatkan gairah masyarakat yang menghendaki timnas mengunduh kemenangan
Bagi saya, apa muncul di publik, tak lebih sebagai keculasan politik dimana para elit hanya mau menunggangi hasilnya. Perhatian mestilah ditunjukan, melalui kebijakan yang sistematis. Memfasilitasi segala hal yang memungkinkan prestasi sepak bola berkembang secara konstan.
Memberi perhatian saat berprestasi, merupakan politik jalan pintas, hanya mau enaknya saja. Persis seperti kultur dan perilaku politik politisi kita selama, hanya mau memberikan perhatian kalau menguntungkan secara politik. Dapat nama dan bisa menaikan pamor, untuk kemudian dikapitalisasi pada saat yang diperlukan.
Mari kita nantikan apakah perhatian para elit politik, ‘syahwatnya’ masih besar setelah Tim Garuda gagal memboyong Piala AFF tahun 2010 ini?