Dari "Nomor Jadi" Ke "Suara Terbanyak"

PARTAI Golkar membuat kebijakan internal dalam penentuan caleg yang terpilih menjadi anggota legislative. Tidak ada lagi konsep nomor jadi dalam urutan caleg. Siapapun caleg asal memiliki suara terbanyak dengan sendirinya akan melenggang menuju ke gedung legislative. Tidak ada lagi istilah nomor jadi dan nomor sepatu dalam kebijakan internal partai Golkar.

Setiap caleg. khususnya yang memiliki ’angka jadi’ sedari awal harus membuat pernyataan kesediaan untuk mundur apabila perolehan suaranya kalah dengan caleg dengan nomor di bawahnya. Ini tentu saja berbeda dengan ketentuan perundang-undangan, yang menyatakan nomor urut berikutnya dengan manjadi caleg apabila nomor di atasnya tidak mencapai angka 30% dari angka bilangan pembagi.

Kebijakan internal Partai Golkar cukup radikal. Secara internal dibuat kesepatan, nomor urut tidak menentukan jadi atau tidak jadinya seorang caleg untuk menjadi anggota legislative. Dukungan Publik, dukungan pemilihlah yang menentukan.

Tentu, kebijakan ini merupakan inovasi yang cukup menarik dan menjadi pembeda dengan partai peserta Pemilu 2009 lainnya. Mengapa memiliki nilai beda? Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, sudah tidak menjadi rahasia umum jika nomor-nomor jadi beberapa partai politik selalu dijual kepada pihak lain yang berminat. Jadi partai menyediakan kendaraan, sementara pihak-pihak yang memiliki minat dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan dipersilahkan untuk menggunakannya. Kecenderungan seperti ini yang sering menyebabkan kader partai yang telah lama berjuang harus tersingkir oleh kepentingan pragmatis partai politik.

Kedua, dengan mengembalikan mekanisme caleg yang jadi adalah caleg yang mendapat dukungan suara terbanyak, dengan sendirinya akan membuat para caleg memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk terpilih. Oleh karena itu, tidak akan ada lagi kasta-kasta nomor jadi dan kasta nomor sepatu. Prevelege nomor muda sebagai nomor jadi dengan demikian tidak ada lagi. Tentu saja ini membuat iklim kompetisi politik menjadi fair dan masing-masing caleg harus berjuang dan membuktikan dirinya layak dan mendapat kepercayaan pemilih.

Ketiga, kebijakan internal ini mau tidak mau akan memaksa para caleg partai Golkar untuk melakukan perubahan dalam penggalangan dukungan pemilih. Inilah saatnya bagi caleg dari partai Golkar untuk lebih menyatu, merebut simpati, membangun kepercayaan dan menggalang dukungan. Tanpa menjalin hubungan lebih dekat dengan pemilihnya, maka akan susah untuk mendapatkan dukungan. Pepatah kuno berlaku di sini, tak kenal maka tak dipilih.

****

Selain sebagai terbosan, kebijakan ini memang menantang para caleg Partai Golkar untuk merubah orientasi politiknya. Khususnya dalam melakukan pendekatan dengan konstituen. Seperti diketahui bersama, partai Golkar merupakan partai yang menganut ideologi develovmentalisme dengan pendekatan top down. Bertahun-tahun partai ini tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi dan budaya politik yang sentralistik. Segala inisiative, gagasan maupun kebijakan selalu dirumuskan oleh elit politik. Pada sisi lain, proses rekruetmen caleg, lebih ditentukan oleh kedekatan-kedekatan dengan elitnya.

Ketika secara internal Partai Golkar tidak ada lagi konsep nomor jadi, menyerahkan kepada pemilih siapa yang mendapat suara terbanyaklah yang akan terpilih menjadi anggota legislative, sesungguhnya Partai Golkar tengah dan sedang melakukan reformasi internal yang cukup serius.

Formulasi yang tampaknya diformulasikan tampaknya sebagai berikut. Caleg yang mendapatkan suara terbanyak adalah manifestasi dari adanya konstituensi (basis dukungan) dari pemilih. Suara terbanyak merupakan bukti dari adanya kepercayaan, mandat dan legitimasi politik yang diberikan. Mandat ini tentu saja merupakan proses pergulatan dan interaksi caleg mengenai kompetensi dan konsistensi politiknya.

Memberikan dukungan atau suara, pada dasarnya adalah interaksi politik antara pemilih dengan caleg. Buah dari proses sosialisasi dan upaya-upaya caleg untuk menyakinkan pemilih, mengambil dan memformasulasikan aspirasi dan harapan politik masyarakat menjadi harapan bersama yang dipercayakan kepada caleg.

Dengan formulasi seperti itu, yang harus dilakukan oleh para caleg dari Partai Golkar adalah melakukan kerja-kerja penggalangan di basis-basisnya, mengkomunikasi dengan pemilih, menyerap aspirasi untuk kemudian diformulasikan menjadi program kerja politik untuk pemenangan dirinya pada satu sisi, membesarkan dukungan partai Golkar pada sisi lain.


Konsekuensi logisnya adalah, memang para politisi partai Golkar harus merubah pendekatan kepada masyarakat. Apabila selama ini, sebagaimana layaknya partai politik di negeri ini umumnya, mendekati masyarakat hanya menjelang Pemilu. Mendekat hanya apabila memerlukan dukungan yang dilakukan dengan cara-cara yang instan, maka sekarang harus disadari bahwa untuk bisa mendapat mandat dari pemilih memerlukan investasi politik yang panjang. Selalu menggunakan kesempatan untuk dekat dan membangun komunikasi, berdialog dan menyerap aspirasi. Proses seperti itu harus terus dilakukan agar rakyat mengenal dan mempercayai integritas dan kompetensi politik yang dimiliki.

Tidak mudah memang untuk mendapatkan dukungan suara terbanyak. Tidak mudah pula untuk membangun kepercayaan politik dari rakyat, sampai pada akhirnya rakyat menjatuhkan pilihan dan memberikan kepercayaan. Caleg harus mengenal betul kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik daerahnya. Terjun langsung dari pintu ke pintu, membangun jaringan dan simpul-simpul yang bisa digunakan sebagai personal guarantee kepada masyarakat. Elitisme politik memang harus ditanggalkan jauh-jauh. Jika tidak, maka nomor urut caleg boleh saja nomor satu akan tetapi dalam perolehan suara bisa-bisa nomor sepatu.


*****

Kebijakan internal Partai Golkar memang lebih maju, demokratis dan menjadikan prinsip suara terbanyak yang menjadi legislative. Semua caleg diberi kesempatan yang sama untuk melakukan kontestasi politik dalam menggalang dukungan.

Pada tataran internal, dalam tubuh partai sendiri terjadi kontestasi politik antar sesama caleg dari daerah pemilihan yang sama. Sementara pada tataran makronya politik nasionalnya, masing-masing caleg sesungguhnya sedang bekerja keras untuk memenangkan dukungan dalam kontestasi politik dengan partai lain. Apakah ini salah cara yang dilakukan oleh partai Golkar untuk memaksa semua calegnya untuk bekerja menggalang dukungan satu sama lain, bahu membahu meski secara internal masing-masing dalam kontestasi politik, untuk memenangkan Pemilu 2009?

Boleh jadi demikian adanya. Akan tetapi yang menarik dan jelas merupakan terobosan adalah, ketika nomor urut tidak sakral lagi. Tidak lagi menjadi pesona dan ajang rebutan. Inilah babak baru bagi para politisi dari Partai Golkar, apabila sebelumnya pendekatan-pendekatan lebih banyak dilakukan untuk mendapatkan nomor jadi, maka sekarang harus dibalik seratus delapan puluh derajat. Pendekatan harus dilakukan ke bawah, ke kantong-kantong dan simpul-simpul masa. Berjuang dengan tekun dan telaten merebut simpati dan mengambil hati untuk mendapatkan dukungan politik.

Inilah kebijakan internal Partai Golkar yang akan membuktikan apakah para anggotanya di legislative, termasuk para elitnya, yang selama ini menduduki kursi di legislative dikenal apa tidak di hadapan pemilihnya. Kita tunggu saja hasilnya pada Pemilu 2009 nanti. Yang jelas, kebijakan itu dengan sendirinya akan mengakhiri era elitisme politik khususnya bagi caleg dari Partai Golkar dan membuka fajar baru bagi populisme politik. Para caleg yang populislah, yang akan menggantikannya. Semoga saja kebijakan ini konsisten diterapkan agar bisa ditiru oleh partai lain.

15 komentar:

Chairul Umam said...

Terobosan bagus dan patut ditiru. Setahu saya bukan hanya Golkar, PAN pun demikian. Apapun ini menarik, lebih adil, demokratis dan menantang bagi para caleg.

Titi Resmiyati said...

Yang lebih adil memang suara terbanyak. Langkah PG juga diikuti oleh PD dan bahkan PDIP cukup radikal, yang diatas 15% yang jadi. Selamat berebut simpati masyarakat...

S Kelana said...

Ini perubahan penting. Good will politik yang layak diacungi jempol. Wait tapi nanti dulu....Kebijakan itu tentu terkait dengan strategi dan taktik,moga-moga konsisten saja sih...

Anonymous said...

saat diman tokoh populis mengalahkan tokoh pekerja, yang kadang jauh dari sorot kamera tv

andreas iswinarto said...

maaf, hanya mau kabar-kabari saya sudah hijrah dari ruangasa ke lenteradiatasbukit.

suwun

Anonymous said...

hullo, pa kbr mas?

Anonymous said...

Belajar dari kerja di parlemen, dulu ada diantara dua caleg membuat perjanjian yang unik. Mereka yang nomor urut jadi (dan berhasil menjadi Anggota DPR), duduk di gedung parlemen 2,5 tahun saja. Sisa 2,5 tahun berikutnya, diisi nomor urut di bawahnya. Alasan bisa bermacam-macam, tapi efeknya, perjanjian seperti ini, amat tidak etis untuk politik representasi.

Kalau Golkar berpikir dalam jangka 5 tahun, lebih baik kesepakatan politik "mulia" itu dicantumkan dalam kesepakatan politik internal yang bersifat tertulis. Biar gak seperti "perjanjian 2,5 tahunan" itu: niatnya kaderisasi, tapi berbuah konflik tak berujung.

salam to mas ellyasa,
anom
jurnal geofilsafat

Unknown said...

terobosan dan pemikiran yang baguzz..

Anonymous said...

PEmikiran yang mantap....

Anonymous said...

Selamat tahun baru 1430 H dan 2009 M ya mas elly, semoga ditahun 2009 ini menjadi awal yang lebih baik dari tahun sebelumnnya :)

Anonymous said...

Happy Wednesday! Bloghoppin' here... Hey, I have an interesting tutorial for you that I have written myself. It is about adding Adsense on your Single Post in XML template. I hope you'll like it! God Bless you!

Anonymous said...

Memang ternyata masih ada plus dan minusnya.
opsi suara terbanyak membuka peluangluas buat kader 2x bajing loncat dan kader dadakan. Asal punya uang banyak buat iklan tebar pesona di mana 2x.
Rakyat kita masih mudah dibohongi iklan dan "kemasan" yang indah.
Tapi balik ke opsi no urut...kita sudah tahu banyak masalah disana...
Jual beli nomor, sikut-menyikut antar kader sampai deal 2,5 tahun spt kata bung Anom...
So...

Anonymous said...

cara ini lebih bagus, karena suara rakyatlah yang akan menentukan hasil pemilu.

Anonymous said...

Weh, saya pikir aturan bahwa caleg yang mendapat suara terbanyak yang akan terpilih adalah merupakan aturan Pemilu 2009, bukan aturan Partai, ternyata nggak begitu sederhana ya... Perlu nggak ya baca aturan Pemilu-nya... :). Salam...

om-teguh said...

saya harap memang pemilu saat ini bisa lebih menghasilkan kebijakan yang dapat membawa perubahan bagi bangsa ini kedepan

Network