Tiba-tiba saja seorang teman mendiskusikan topik ‘Nikah Sirri’ dalam Politik 2009. Istilah itu dipakai untuk menyebut adanya indikasi pengalihan dukungan caleg di tingkat II kepada caleg tingkat pusat dari partai yang berbeda. Caleg tingkat II tidak menggandeng caleg tingkat I atau pusat untuk bersama-sama melakukan kerja sosialisasi dan penggalangan dukunngan dalam satu paket. Kesepakatan ini dibuat di bawah tangan, dilakukan secara diam-diam, tanpa memorandum yang dipublikasikan secara luas tetapi cukup melalui mekanisme tahu sama tahu akan tetapi gelagatnya bisa dilihat di lapangan.
Jika benar pengamatan itu, maka akan banyak simpatisan partai politik dan juga caleg tingkat II yang akan mengalihkan dukungan basis masanya lintas partai. Tak pelak lagi, sinyalemen yang dikemukakan seorang teman itu merupakan suatu yang menarik untuk dikaji atau didiskusikan secara seksama. Pada satu sisi, mengindikasikan mulai luruhnya sentiment dan fanatisme kepartaian. Pada sisi lain juga menggambarkan bahwa adanya fenomena political disobedience dari para caleg tingkat local terhadap keputusan DPP partai politiknya. Hasil Pemilu 9 April 2009 akan mengkonfirmasinya. Jika kecenderungan ini betul-betul terjadi, maka secara diam-diam tengah terjadi perubahan pada aras political behavior simpatisan politik di negeri ini. Pada saat yang sama, juga mengindikasikan bahwa oligarki partai politik yang sekian lama bercokol akan runtuh atau pelan-pelan tidak akan dominan lagi.
Apakah kecenderungan ini merupakan suatu yang baru? Jelas jawabnya tidak. Jika menilik hasil Pemilu 2004 yang lalu, secara samar namun jelas nyata. Jarang ada partai politik yang perolehannya sama antara perolehan suara untuk DPRD TK II, I dan tingkat pusat yang sama. Ketidaksamaan itu, memang masih bisa diperdebatkan apakah karena rusak atau memang hanya memberikan suara untuk caleg tingkat tertentu saja, dan atau selebihnya Golput.
----------------
Belum ada analisis yang memadai memang untuk membaca kecenderungan yang tengah berkembang sekarang ini. Meskipun demikian, apa yang akan dipaparkan berikut ini barangkali bisa digunakan sebagai bacaan awal. Pertama-tama, partai politik tampaknya tidak ada satupun yang siap dengan kepututusan MK yang menganulir nomor urut caleg dan memutuskan suara terbanyaklah yang menentukan. Keputusan ini, keluar pada saat DCT sudah ditetapkan sementara dalam penempatan Caleg sesuai dapilnya, masing-masing partai politik masih menggunakan pemetaan lama. Ditambah lagi, tidak ada satupun partai yang melakukan pembagian area untuk masing-masing kantong-kantong basisnya. Akibatnya, persaingan sesama caleg dalam satu partai cukup keras dan tajam.
Pada sisi lain, penempatan Caleg untuk setiap dapil lebih banyak kepentingan elit yang seringkali tidak diterima konstituennya. Banyak caleg yang nota bene orang-orang dekat elit partai, atau bagian dari klik elit, juga mereka yang mendapatkan ‘nomor jadi’ dengan cara ‘membeli nomor’,atau memiliki prevelege karena dirinya menjadi pejabat teras partai, menjadi kerepotan ketika harus melakukan sosialisasi dan penggalangan pada simpatisan dapilnya. Itu sebabnya, banyak kasus terjadi, caleg yang pada tataran pusat sangat powerfull karena posisinya sebagai orang teras di partai tetapi di lapangan tidak berdaya dan dipermainkan oleh pengurus partai di dapilnya. Parahnya lagi, seringkali elit partai di daerah lebih memihak dan mesra denngan caleg yang memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk bekerjasama dalam melakukan penggalangan. Dengan demikian, kantong-kantong basis, menjadi tidak tergarap atau kalau tidak terjadi persaingan yang cukup keras antar sesame caleg.
Kedua, caleg tingkat II yang pada era pemilu sebelumnya dijadikan sebagai tandem dalam penggalangan suara, kini menunjukkan giginya. Apabila tidak ada kesepatan politik yang menguntungkan, dirinya akan lebih mementingkan kepentingan dirinya. Caleg DPR Pusat dan Caleg DPR TK I tidak disosialisasi setiap berhubunngan dengan simpatisannya. Boleh jadi perasaan dendam politik, apabila sebelumnya caleg pusat sangat powerfull untuk mengguinakan dirinya sebagai mesin penggalangan dukungan, maka sekarang mereka menunjukkan kuasanya terhadap caleg DPR pusat.
Pengamatan di lapangan menunjukkan, hanya para Caleg DPR RI yang memiliki jaringan sendiri sajalah yang popularitas dan elektabilitasnya cukup memadai. Para caleg yang tidak tergantung atau menjadikan caleg tingkat II sebagai tandem, yang relative memiliki basis massa yang jelas. Sebaliknya, yang mengandalkan caleg DPR tingkat II sebagai tandem, positioningnya sangat rentan dan potensial untuk ‘dikerjai’ apabila tidak ada dukungan yang jelas. Tidak hanya itu, dalam beberapa kasus, caleg tingkat II sering memainkan politik bandul. Dengan mudah bisa mengalihkan dukunngan untuk kepentingan-kepentingan yang sangat pragmatis. Meninggalkan begitu saja kesepatan politik yang telah dibuat.
Ketiga, caleg tingkat II pun tampak tidak berdaya. Kontestasi yang cukup keras dengan sejawatnya di dapilnya,membuat dirinyta harus menjaga hubungan dan dukungan dengan stakeholder, sering juga tidak berdaya menghadapi tekanan dari pendukungnya. Dipaksa beraliansi dengan caleg pusat lain, stakeholder menekan untuk berganti aliansi dengan caleg pusat yang dikehendaki masyarakat apabila tidak ingin kehilangan dukungan. Tak urung kesepatan politik dengan caleg pusat pun harus dibatalkan demi kepentingan menjaga dukungan terhadap dirinya.
Keempat, sejalan dengan gagapnya partai politik melakukan konsolidasi, paska keputusan MK membuat dan memberi ruang caleg yang lebih memiliki jarinngan tradisional dan lebih dikenal oleh masyarakat lebih dikenal. Caleg ini yang lebih leluasa melakukan sosialisasi dan penggalangan melalui pendekatan-pendekatan yang tokoh dan lintas basis partai politik. Belum lagi ditambah dengan kompetensi, tingkat pengenalan dan personal guarantee tokoh setempat, membuat dukungan terhadap dirinya meningkat dan memiliki basis pasti. Jaringan partai politik sampai ke tingkat bawah pun menjadi tidak berdaya untuk mengkonsolidasi dan mengarahkan simpatisan untuk mengalihkan dukungan.
Kelima, partai-partai kecil dan partai baru yang peluangnya tipis untuk bisa lolos dalam parliamentary threshold, di lapangan juga tampak melakukan hal serupa. Basis dan simpatisannya harus ditekankan untuk memilih caleg tingkat II dan I. Sementara untuk tingkat pusat, aspirasi politiknya ‘dititipkan’ kepada caleg pusat yang memiliki potensi untuk duduk di Senayan.
Keenam, ini yang paling sistematis, memanfaatkan kesempatan pemilu 2009 sebagai ajang adu pengaruh. Salah satu kubu yang kalah dalam pertarungan elit, memobilisasi jarinngannya untuk adu legitimasi politik di mata konstiuen. Secara sistematis dengan jaringannya, melakukan pendekatan dan negosiasi untuk mengganjal caleg-caleg dari partainya yang berada pada posisi lawannya, basisnya digerilya untuk digembosi dan dukungannya dialihkan kepada orang-orangnya. Tidak hanya itu, diberbagai tempat sesuai konteks local, dibiarkan dan dilakukan upaya pengalihan dukungan kepada partai lain untuk menitipkan aspirasi politiknya. Arahnya jelas, apabila berhasil, apabila terjadi penurunan suaranya signifikan maka legitimasi politik seterunya akan turun di mata konstituen. Dengan cara demikian pula, maka kepemimpinan moral politik berhasil diambil. Turunnya suara partai politiknya menunjukkan kemenangan dirinya dan sebaliknya.
----------
Kecenderungan ‘nikah sirri’ politik itu, mengindikasikan bahwa mengindikasikan bahwa pada tingkat caleg tingkat II dan juga pada tingkat pemilih, tengah berkembang sikap otonom dalam politik. Oleh karena kepentingan di tingkat local dan juga kepentingan yang lebih besar di atasnya, mereka mbalelo tidak mau bekerjasama atau menjadi mesin pendulum dukungan untuk caleg pusat. Terlebih lagi, apabila caleg pusatnya tidak dekat dengan konstiuen, atau titipin faksi tertentu dalam partainya yang ditempatkan dengan memanfaatkan oligarkhi partai. Oligarkhi politik, seperti diketahui bersama, menjadi penghambat bagi tumbuh dan berkembangnya system politik yang aspiratif.
Pada sisi lain., ‘nikah sirri’ politik itu juga mengindikasikan bahwa caleg pusat yang tidak memiliki basis konstituensi yang jelas, akan ditinggalkan oleh simpatisan dari partainya. Menjadi politisi yang bisa dengan mulus ke Senayang, apabila hanya mengandalkan kedekatan kepada elitnya belaka tetapi tidak dikenal dan dipercaya oleh oleh konstituennya dengan sendirinya akan ditinggalkan simpatisannya. Sikap ini tampaknya muncul dan berkembang sebagai reaksi terhadap apa yang terjadi sebelumnya. Banyak caleg DPR pusat, setelah terpilih justru lupa kepada kepentingan dan aspirasi konstituennya. Istilah yang sering digunakan adalah menjadi caleg DPR RI di dapel bukan untuk dapilnya.
Jika indikasi adanya “nikah sirri’ politik itu terkonfirmasi pada 9 April nanti, maka jelas merupakan lampu kuning bagi partai politik. Fanatisme politik pemilih sudah mulai tidak kental lagi, dan oleh karena itu, tatanan dan budaya politik yang oligarkhis sudah saatnya ditinggalkan. Kalau tidak, lonceng kematian partai politik akan berdentang keras.
Oleh Seno Gumira Ajidarma The short version of this paper first published
as proceedings from 2nd International Conference on Strategic and Global
Studies ...
3 komentar:
1. Analisis Anda tepat sekali, saya mengamati lapangan memang seperti itu.
2. Penggunaan istilah nikah sirri politik, jenis nikah sirri yang halal di politik dan halal di perundang-undangan sejauh ini. Nikah sirri yang lain halal di aturan agama haram di aturan perundangan.... hehehe
3. Agaknya kita sedang mendekati sistem distrik penuh ya
Salam, said budairy
Itu sebagagai konsekuensi dari liberalisasi politik. Benar itu bisa menjadi tanda lonceng kematian bagi partai politik
sebagai orang yang awam di bidang politik saya taunya nikah siri yang lain..baru tau saya ada nikah siri di politik...pertanda apalagi nich utk pilitik indonesia yg sdh carut marut
Post a Comment