Analisis sementara, ada tiga faktor yang dituding sebagai penyebab. Pertama, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan persoalan rice bowle (piring nasi) tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos. Jika analisis ini benar, maka bisa ditarik kesimpulan sementara, persoalan pekerjaan menjadi hal yang lebih utama dibandingkan dengan persoalan politik. Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan, menjadi lebih dipentingkan dibandingkan dengan persoalan penggunakaan haknya atau berpartisipasi dalam kontestasi politik.
...Jika analisis ini benar, maka bisa ditarik kesimpulan sementara, persoalan pekerjaan menjadi hal yang lebih utama dibandingkan dengan persoalan politik. Tingkat pemenuhan kebutuhan pangan, menjadi lebih dipentingkan dibandingkan dengan persoalan penggunakaan haknya atau berpartisipasi dalam kontestasi politik....
Sekali lagi, jika bacaan ini benar, maka kini diam-diam kehidupan politik kita sedang dalam bahaya. Politik dipersepsi hanya menjadi urusan elit belaka dan dianggap tidak ada korelasinya dengan kehidupan sehari-hari. Masyarakat pada satu sisi jenuh, tidak mau terlibat politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demikian, secara struktural, pemicu tingginya angka GOLPUT itu tidak lain adalah suatu yang pangkalnya dari kebijikan ekonomi politik secara makro. Adanya kebijakan yang tidak pro rakyat.
Analisis berikutnya menyebutkan bahwa pemicu dari rendahnya tingkat partisipasi masyarakat adalah karena PILKADA kurang greget. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan PILKADA, dari KPUD sampai kandidat, tidak gencar melakukan sosialisasi tentang PILKADA kepada masyarakat. KPUD sebagai penyelenggara PILKADA dianggap kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi, demikian halnya dengan peserta PILKADA yang hanya melakukan sosialisasi melalui media yang sangat terbatas. Jika analisis ini betul, maka menjadi semakin tegas persepsi yang berkembang di masyarakat, bahwa persoalan PILKADA menjadi jauh dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Ada jurang menganga yang berkembang di masyarakat, ketelibatan atau partisipasi politik yang diberikan tidak dengan sendirinya merubah kehidupan sehari-hari yang dialami.
Jadi, PILKADA dimaknai hanya semata-mata hanya hajat elit politik yang ikut kontestasi politik belaka. Cara elit politik untuk mendapatkan kekuasaan politik dan yang akan mendapat keuntungan sosial, ekonomi dan politik tentu saja hanya sebagian kecil saja. Sementara masalah yang dihadapi masyarakat, tetap saja tidak akan berubah.
Faktor berikutnya, yang dianalisis sebagai biang rendahnya partisipasi politik adalah masalah di seputar kandidat itu sendiri. Pasangan calon dianggap tidak membawa harapan baru yang bisa memacu optimisme masyarakat. Tidak ada angin segar yang ditawarkan oleh pasangan, yang bisa menjadi alasan para pemilih untuk menggunakan suaranya. Jika analisis ini betul, tingginya angka GOLPUT itu bisa dibaca sebagai cermin apatisme politik masyarakat.
Pemberian dukungan dalam PILKADA hanya dianggap sebagai suatu yang tidak memiliki makna, sebab hanya akan dijadikan sebagai legitimasi politik belaka oleh para peserta, sementara tanggung jawab politiknya untuk mengakomodasi aspirasi pemilih dalam bentuk kebijakan-kebijakan belum tentu akan dijalankan.
Prasyarat penting tentang demokrasi yang bisa menjelaskan adalah demokrasi hanya akan berjalan jika sering dengan tingkat kesejahteraan. Tidak ada demokrasi pada negara yang penduduknya miskin. Kemiskinan pada dasarnya merupakan penghalang bagi tumbuh dan berkembangnya sistem dan budaya demokrasi. Tesis berikutnya adalah, tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan menentukan tingkat partisipasi politik masyarakat. Pemberian dukungan tidak dimaknai hanya semata-mata memberikan dukungan suara, lebih dari itu, pemberian dukungan akan diikuti dengan upaya melakukan kontrol. Untuk ini maka menyaratkan untuk bisa berjalannya partisipasi politik paling tidak ada dua hal, yaitu terbukanya akses informasi atau memiliki akses terhadap informasi. Tanpa adanya akses terhadap informasi, maka tidak akan ada pemberian dukungan (participation in).
Yang menjadi persoalan adalah, selama ini, sejak Pemilu Legislatif 1999 sampai era PILKADA sekarang ini, ketika pada tataran masyarakat sudah mulai berubah yang masih menjadi persoalan adalah pada level tatanan dan budaya politik pada level atas atau elit. Elit politik masih memegang budaya lama, monolitik dan mengabaikan aspirasi yang berkembang di masyarakat bawah. Dengan demikian, tingginya angka GOLPUT pada dasarnya merupalan ekspresi politik masyarakat terhadap proses politik yang hanya prosedural belaka. Sebab partisipasi politik yang selama ini diberikan masyarakat, berimplikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Politik digambarkan hanya sebagai kegiatan yang menyodorkan janji-janji yang realisasinya sangat bertentangan dari ekspektasi publik.
Dengan demikian, tingginya angka GOLPUT ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam kehidupan politik yang berjalan sekarang ini. Politik berjalan dan berkembang dengan urusannya sendiri, politik berkembang tidak seiring dan selangkah dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Terjadi disparitas, antara apa yang dirasakan, dipikirkan dan diharapkan oleh masyarakat dengan apa yang diinginkan dan yang didambakan elit politik.
Pada akhirnya, kecenderungan meningkatkan angka GOLPUT dalam PILKADA memang harus menjadi perhatian. GOLPUT itu merupakan alarm atau sinyal-sinyal yang berkembang di masyarakat terhadap elit politik. Jika kecenderungan ini tidak segara diperhatikan dan diantisipasi perkembangannya, maka jelas merupakan bahaya dalam kehidupan politik. Kehidupan politik yang demokratis akan beku, sebab demokrasi dan partisipasi politik masyarakat tidak dibatengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kehidupan ekonomi masyarakat semakin susah sementara perekonomian secara makro terseok-seok, sementara di kalangan masyarakat sipil terjadi proses atomisasi, pada sisi lain pada tingkat terpecah-pecah dan tidak ada soliditas. Sementara persoalan hukum warisan masa lalu tak juga selesai. Fenemona ini sudah menjurus sebagai demokrasi beku yang diisyaratkan oleh George Sorensen dalam buku Democracy and Democratization: Process and Prospect in a Changing World.
Sudah saatnya, elit-elit politik harus menyadari masalah yang berkembang di masyarakat. Kecenderungan meningkatnya angka GOLPUT dalam beberapa PILKADA belakangan ini, adalah tengara masyarakat mulai apatis terhadap politik. Menganggap masalah politik sebagai hanya urusan elit yang tidak ada hubungannya dengan persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, sebelum terlanjur, lakukan terobosan terobosan politik yang memihak kepentingan dan berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai masyarakat menjadi beku yang bisa berakibat kepada bekunya demokrasi juga.
6 komentar:
ada beberapa alasan kenapa sy kadang tidak paham dgn itungan golput dikaitkan dgn rendahnya partisipasi politik scr diametrikal.
pertama: angka tinggi golput jelas menunjukkan mobilitas org jateng mulai tinggi. alias banyak yg 'ngurban' ke jakarta, surabaya atau solo yang lebih tinggi tingkat perputaran uangnya.
kedua: kalau dibaca bagaimana hiruk pikuknya pilkades di jateng, jelas menunjukkan bahwa parisipasi politik orng jateng tinggi.
ketiga: nah yang ini kayaknya sy setuju dgn Njenengan.Tapi (hehehe, masih ada buntut tapinya) kalau pengertian politik itu dipersempit dgn ketokohan/kepemimpinan. Di jateng peserta pilkadanya (ini hanya rasan...rasan pemburu berita yg ngikutin kemanapun cagub pergi) pada 'ga mutu' dan ga bisa diharapkan bisa menaikkan taraf hidup mrk.'
bahkan dibanyak kampanye yg turun langsung ke masyarakat. masyarakat banyak yg memilih minta uang drpada minta program....
jadi kayaknya lebih bagus kalo golput di 'vis a vis'kan dgn ketokohan kontestan. bukan parisipasi politik [http://semarangreview.blogspot.com/2008/06/bung-tomo-tan-malaka-syahrir-natsir_27.html]
maaf ya pak, kalo kulo beda pendapat..
hehehe
regards from smg
Sepertinya faktor pertama pada analisis tersebut lebih menjadi sebab utama mengapa partipation rate masyarakat pada Pilkada rendah. Masyarakat sudah jenuh dan kecewa akan kebijakan2 yg dihasilkan yg kebanyakan tidak pro rakyat dan akhirnya menganggap urusan politik adalah urusan elit belaka dan nggak ada hubungannya dengan kepentingan mereka. Mencoblos atau nggak, tidak merubah kesulitan yg sedang dihadapi menjadi lebih baik. Sbg salah satu contoh saja, pada hari pencoblosan, ada beberapa orang di daerah jawa tengah yg saya temui tidak perduli dengan Pilkada yg sedang berlangsung, mereka lebih memilih tetap bekerja seperti hari2 biasanya. Ini adalah gambaran bahwa urusan ekonomi domestik lebih penting dibanding ikut berpatisipasi dlm pencoblosan. Harusnya ini menjadi sinyal penting yg harus diperhatikan bagi gubenur terpilih agar lebih konsentrasi dan berpihak pada kepentingan2 masyarakat.
Bisa jadi memang demikian, dalam PILBUG jarak antara pemilih dan kandidat sangat jauh. Sementara banyak hal yang juga tidak selesai, dari sosialisasi pilbug sendiri sampai sosialisasi dan penggalangan calon. Mengapa tidak perduli? Apakah ini yang menyebabkan golput? Banyak faktor yang menyebabkan. Apa yang ditulis dalam artikel ini hanya satu penghampiran dan saya setuju
Memang banyak soal yang melatar belakangi, tetapi memang demokrasi tidak bisa kondusif tanpa kesejahteraan.
Yang jelas mas elly dengan gaya tulisan yang renyah dibaca dan Mas elly selalu memberikan analisis politik yang berbobot. salut!! sukses selalu buat anda :)
Demokrasi yang beku, politik yang beku dan masyarakat yang tidak peduli lagi dengan politik karena kekecewaan demi kekecewaan. Elit politik harus bertanggung jawab untuk itu semua...
Post a Comment