Bersaing Menuju (RI) Satu

PILPRES mendatang, tampaknya semakin ramai. Banyak tokoh-tokoh politik yang sudah mendeklarasikan diri untuk maju ke dalam kontestasi politik pada PILPRES 2008 nanti. Sebagian besar masih didominasi oleh tokoh politik lama, sebut saja secara alfabetis; Abdurahman Wahid, Jusuf Kalla, Megawati Sukarnoputri, M. Amin Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, Sutiyoso, Prabowo Subiyanto, dan Wiranto.

Seriuskan para tokoh politik kita siap-siap untuk ikut dalam kontestasi politik memperebutkan posisi orang nomor satu di negeri ini? Tentu mereka serius. Pasti kesediaan untuk maju didasari oleh kalkulasi politik yang matang, dan tentu saja, mempertimbangkan peluang-peluang politik yang tersedia selama ini. Dengan sendirinya juga, semua tergantung terhadap perkembangan politik setelah Pemilu Legislatif 2009 nanti. Sejauh ini yang hampir pasti akan maju ke dalam bursa PILPRESS 2008 (hanya) Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhono. Sementara Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, belum ada tanda-tanda atau baru samar-samar akan maju dalam bursa PILPRES.

Para calon kandidat itu, kini tengah melakukan kerja-kerja untuk merebut kepempinan moral politik. Pada satu sisi, melakukan kritik terhadap kepemimpinan incumbent sambil menyodorkan formulasi kebijakan yang akan dilakukan apabila terpilih menjadi presiden kelak. Sementara pada sisi lain, incumbent tak kalah gencarnya juga melakukan ’perlawanan’ terhadap kritik-kritik tajam yang dilontarkan oleh calon pesaing.

Sayang ’kritik’ dan ’jawaban terhadap kritik’ itu hanya berkembang di media massa semata. Harapan banyak kalangan suatu ketika (moga-moga UU PILPRES yang baru mengaturnya) akan terjadi debate yang intensif- tajam dan mencerdaskan.

Pendek kata, mulai sekarang sampai menjelang pelaksanaan PILPRES 2008 nanti, masyarakat pemilih akan banyak dibanjiri informasi terkait dengan sosialisasi dan pencitraan para kandidat presiden. Semua sah-sah saja dan memang harus dilakukan untuk mendongkrak popularitas dan meningkatkan elektabilitasnya.


****

Di tengah-tengah gencarnya sosialisasi dan pencitraan bakal calon presiden, paling tidak ada tiga hal yang penting yang harus dicermati sebelum kepercayaan diberikan dalam bentuk dukungan. Ketiganya satu sama lain saling berkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yaitu masalah kompetensi, konstituensi dan igtegritas para kontestan. Mencermati secara seksama tiga hal ini, insya Allah akan membantu dalam mengantarkan tercapainya hasil pemimpin yang membawa kemaslahatan bersama.

Pertama, masalah kompetensi. Kemampuan intelectual, cita-cita politik yang akan dibangun dan dijalankan biasanya tercermin dalam visi dan misi serta program strategis yang ditawarkan jika kelak terpilih menjadi pemimpin. Kemampuan intelektual saja, tentu tidak cukup apabila tidak diberangi dengan skill kepemimpinan yang memadai. Tentu kita tidak pernah membayangkan atau berimajinasi, ada seseorang pemimpin yang dipilih tanpa kemampuan politik apa-apa.

Jelas, sebagai seorang yang akan diberi amanah/mandat politik untuk memimpin selama lima tahun, kompetensi seseorang menjadi hal yang utama. Tanpa kompetensi, maka dalam kepempinannya akan kehilangan orientasi, tanpa arah dan akan melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang seporadis, parsial dan tidak integratif.

Kedua, Seseorang yang akan menjadi pemimpin jelas harus memiliki basis dukungan (konstituensi). Kompetensi seseorang saja tidak cukup memadai tanpa didukung oleh konsistuensi (basis dukungan). Kompetensi tanpa didukung konstituensi, akan melahirkan kepempimpinan yang dalam merumuskan kebijakan sesuai dengan jalan pikirannya sendiri.

Seseorang yang hanya memiliki kompetensi semata, akan membuat dan menjalankan kepemimpinannya secara teknoratik. Semua keputusan dirumuskan berdasarkan teori yang dinyakininya semata, mesti dalam tataran riel tidak memiliki sesuai dengan basis sosial pemilihnya. Contoh paling dekat dengan kita adalah selama masa orde baru, semua kebijakan pembangunan dirumuskan dari atas tanpa pernah mendengar atau menjaring aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Semua gagasan pembangunan yang dirumuskan oleh sekelompok kecil yang memiliki kemampuan intelektual atau akademik. Jelas kebijakan-kebijakan seperti ini, dalam banyak hal banyak menyakiti perasaan keadilan masyarakat dan seringkali tidak berangkat dari problem riel yang dihadapai masyarakat pemilihnya. Sebaliknya, hanya memiliki basis dukungan (konstituensi) yang banyak tanpa dibarengi dengan kompetensi, juga tidak cukup. Jika semata-mata mengandalkan kepada konstituensi semata, maka akan membenarkan kekuatiran yang pernah dikemukakan oleh Socrates pada abad 4 SM, demokrasi atau pemilihan langsung hanya akan melahirkan orang bodoh jadi pemimpin.

Ketiga, integritas moral politik. Pelajaran penting selama ini menunjukkan kompetensi dan konsituensi saja tidak cukup. Banyak pemimpin yang memiliki kompetensi dan memiliki basis pendukung, sehingga memperoleh mandat untuk menjadi pempimpin. Akan tetapi apa yang terjadi? Ternyata kompetensi dan konsituensi semata tidak cukup bagi seseorang untuk diberi amanat menjadi pemimpin.

Belakangan disadari, ada satu aspek lagi yang harus dipertimbangkan yaitu masalah adalah masalah integritas moral politik. Seseorang yang memiliki kompetensi dan konsitituensi (memiliki basis dukungan) saja, tidak menjamin yang bersangkutan kelak akan menjalankan dan membuat kebijakan dan menjalankan kepemimpinan dengan baik. Tanpa integritas moral politik, kompetensi dan konstituensi bisa diselewengkan. Kasus yang sering terjadi adalah, basis dukungan hanya diambil semata-mata untuk legitimasi politik semata. Janji-janji politik yang disampaikan sewaktu kampanye, hanya menjadi alat untuk membuai masyarakat untuk memilihnya dan setelah itu, dilupakan begitu saja tanpa perasaan bersalah.


****
Tentu sejuta calon boleh bermunculan, hanya saja pasti tidak semua bisa mengantongi tiket untuk melenggang maju dalam bursa PILPRES 2008. Indikasinya para pendatang baru harus berjuang keras untuk bisa mengantongi tiket untuk bisa maju ke dalam bursa calon. Sampai kini, memang belum jelas ketentuannya, sebab UU PILPRES masih dibahas di DPR.

Indikasi tidak mudahnya pendatang baru untuk melenggang menjadi calon memang tidak mudah. Mayoritas suara di DPR menghendaki dukungan untuk bisa mencalonkan presiden, partai politik atau koalisi partai politik, harus mengantongi antara 20-30 %. Jelas, ini angka yang cukup tinggi. Tidak mudah bagi partai politik lebih-lebih bagi partai baru untuk mendapatkan suara. Diperlukan kerja ekstra untuk menggalang dukungan dan membangun koalisi untuk bisa mengusung dan meloloskan calon presiden dalam PILPRES 2008.

Selamat berjuang menggalang dukungan. Selamat berjuang untuk menggalang dukungan untuk memperbesar suara pemilih partai politiknya. Suatu yang tidak mudah dan perlu kerja keras. Tahapan dan perjuangan yang harus dilakukan untuk bisa mengusung calon presiden memang tidak mudah. Pertama, berjuang untuk meloloskan partai politik yang dibangun untuk lolos electoral threshold dan parliementary threshold. Setelah itu berjuang untuk membangun koalisi agar bisa mendapatkan tiket bisa mengusung calon presiden.

Selamat datang di kancang politik negeri ini ini. Makin banyak pilihan memang makin banyak alternatif. Yang perlu diingat, dalam politik itu tidak berlaku vini, vidi, vici. Sejuta calon presiden boleh bermunculan, akan tetapi negeri ini hanya memerlukan satu presiden saja. Selamat mempromosikan diri, selamat menggalang dukungan dan selamat berjuang!

8 komentar:

D. Ratih said...

Pilpresnya bukan 2009 ya pak....(?)
Agar rakyat Indonesia bisa melihat kemampuan para kandidat hendaknya dilaksanakan kontes debat antar capres dan melibatkan lansung masyarakat dalam memberi permasalahan atau pertanyaan2. Dari situ minimal rakyat bisa melihat kemampuan masing2 kandidat selain melihat track recordnya masing2, jadi tidak memilih kucing dalam karung.
Semoga saja ajang pilpres nanti menghasilkan pemimpin yang benar2 berkwalitas dan yang tidak kalah penting juga berhati nurani.

m4stono said...

tampaknya kita harus menunggu kedatangan satrio piningit pak kyai, ya tentu saja orang muda, tapi apakah generasi2 tua yang pak kyai sebutkan diatas bisa melahirkan generasi2 muda yang berkualitas (satrio piningit)?

Anonymous said...

Banyak calon mestinya banyak pilihan. Sayangnya, pilihannya terbatas, hanya yang disediakan oleh pemilik warung semata. Seperti layaknya diwarung padang, kita boleh memilih menu apa saja, sejauh (hanya) yang disediakan oleh pemilik warung saja.

afizar said...

gimana menurut kamu mengenai golput.
soalnya para pemimpin nih kurang teges sama koruptor semua
yang ada malah ngelindungi

Unknown said...

Mohon maaf Kang Elyasa, jika kadang saya masih belum mudeng soal situasi skrg. berkali2 berganti pemimpin nasional (include kabinet) tapi kita nyaris tak beranjak dr keterpurukan ekonomi. saya kwtr demokrasi yg diperjuangkan dgn berkeringat darah oleh para aktivis dan luberan tinta Njenengan di berbagai media tersebut tak hanya memberi 'sekelompok expert yg berperangai pencoleng'.

dulu ada mafia berkley, kemudian stamford, lantas mafia World Bank.
sy jadi rindu kehadiran Prof Mubyarto. Dan pemimpin sekelas Natsir atau Syahrir (bukan syahrir yg PIB,lho.

Monggo tho Kang, Njenengan ambil bagian lagi. Nulis lagi, kali ini tdk di media massa, tapi semacam proposal perbaikan ekonomi dalam iklim demokrasi.
Tak terlalu penting sebutannya, apakah prakarsa budayawan, prakarsa kerakyatan, bahkan prakarsa blogger pun gpp. asal para ekonom yg alasannya sok ilmiah dgn argumentasi angka2 tp tak pernah tahu soal implikasi kebijakannya pada rakyat tetep menggurita.

Kita bisa jadikan semacam kontrak politik dengan siapapun yg akan mencalonkan diri jadi presiden.

Saya kok mulai sering mendadak pening mendadak mendengar nama-nama seperti, MG, GD, AR, SBY,PS,Wr, SB...
Saya masih percaya pada Drucker, ayatollahnya manajemen:" tak ada negara miskin atau negara kaya, yang ada adalah negara yang salah urus manajemennya"

Saya mulai malu dengan vietnam yg nyalip kita, setelah sebelumnya thailand, malay.

please Kang. kali ini biarkan saya memaksa Kang Elyasa.
salam hormat

Unknown said...

ralat: tinta Njenengan di berbagai media tersebut... hanya memberi 'sekelompok expert yg berperangai pencoleng'. makin menggurita

Komunitas PNS Pusat Propinsi Riau (KP3R) said...

GOOD ARTICLE!!
Propinsi Riau Agustus ini juga Pilkada mbak! Males milih, munafik smua...

Anonymous said...

saya simpati ma pak SBY..
kasin, sampe kena mag segala...

salut buat pak SBY...
bukan kampenye lo,hahaha..

jadi bingung milih,,sekarang semua orang mau jadi pemimpin..

Network