Meretas Ketidak Seimbangan..

Konstitusi kita, hasil amandemen UUD ke empat, masih menyisakan persoalan. Khususnya dalam keseimbangan antara Presden dan Legislative. Itu sebabnya dalam praktek politik kenegaraan salama ini selalu diwarnai tarikan-tarikan politik antara eksekutive dan legislative. Untuk itu perlu dipikirkan dalam amandemen ke lima, yang mengatur keseimbangan antara eksekutive dan legislative.

Soal itu, memang sudah menjadi keprihatian dan perhatian banyak kalangan. Salah satu keluhan itu, muncul dari orang yang sedang memegang mandate sebagai presiden. Presiden SBY secara lantas mengatakan bahwa konstitusi yang mengatur kehidupan kenegaraan saat ini masih sangat kaku. Akibatnya, setiap kebijakan yang diambil pemerintah selalu berbenturan dengan kepentingan legislatif. Presiden SBY, seperti juga presiden-presiden sebelumnya, sejak era repormasi. Tak bias leluasa menerapkan kebijakan-kebijakan politiknya karena harus bernegosiasi dengan DPR. Presiden tak leluasa menjalankan kebijakan-kebijakannya, bahkan dalam kadar tertentu, DPR menjadi penghambat dan untuk memuluskannya membutuhkan negosiasi dan kompromi-kompromi politikyang panjang dan melelahkan.
Pangkal dari masalah ini adalah, sebagaimana diusulkan oleh LKK (Lembaga Kajian Konstitusi) merekomendasikan perlunya amandemen kelima atas UUD 1945 kepada Presiden SBY. LKK menilai sejumlah ketentuan dalam UUD hasil amandemen keempat sangat ambigu sehingga mengakibatkan multiinterpretasi. Kakunya struktur konstitusi berakibat tidak adanya keseimbangan antarlembaga tinggi negara, terutama antara lembaga legislatif dan eksekutif. UUD hasil amandemen keempat masih banyak kelemahan sehingga wajib diperbarui dan dikoreksi. Koreksi paling mendasar adalah agar UUD, sebagaih peraturan dasar yang berlaku bagi sebuah negara untuk jangka waktu panjang. Sementara hasil amandemen UUD selama ini, sangat kental dan nuansa berbagai kepentingan politik bangsa jangka panjang dan tidak berisi kepentingan jangka pendek.
Selama proses berlangsungnya amandemen UUD 1945. Spirit yang tampak di permukaan adalah mempreteli kekuasaan eksekutive sebanyak mungkin dan memperkuat posisi legislative. Semangat ini sangat berlebihan dan sama sekali tidak memikirkan implikasinya kemudian, khususnya dalam kontek menyeimbangkan keduanya. Posisi legislative sangat kuat, sepeti tampak dalam tiga hal.

****
Siapaun yang menjadi presiden di negeri ini, akan mengalami hal yang sama. Presiden yang dipilih secara langsung oleh masyarakat pemilih, memiliki basis legitimasi yang kuat dan pada sisi lain, ia tidak bias leluasa menjalankan kebijakan-kebijakannya secara mulus.

Pada kasus SBY-JK misalnya, seringkali kebijakan-kebijakan yang akan diambil dan ditetapkan harus kompromi dan bernegosiasi dengan kepentingan DPR. Tentu saja ini menjadi persoalan tersendiri. Pengalaman di Negara lain misalnya, dengan adanya pemilihan presiden langsung, dengan sendirinya berimplikasi bahwa lembaga presiden menjadi lebih kuat ketimbang lembaga legislatif. Akan tetapi, di negeri ini, tampaknya tidak. Hasil amandemen ke empat UUD 45 semakin mengukuhkan posisi MPR maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan melemahkan lembaga presiden.
Padahal salah satu gagasan politik yang melatar belakangi lahirnya keputusan Presiden secara langsung adalah untuk menciptakan keseimbangan yang baik antara lembaga DPR/MPR dan lembaga presiden, yang sekaligus mewakili kepentingan seluruh masyarakat dan menjamin kehadiran pusat pengambilan keputusan yang efektif.
Tentu saja, pemikiran politik itu terbukti tidak terlaksana. Posisi presiden dan legislative sama kuat dan masing-masing memiliki dasar dan pijakan konstitusi. Pada satu sisi, mekanisme pemilihan presiden dilakukan secara langsung, akan tetapi pada sisi lain, lembaga tinggi Negara lainnya, seperti DPR dan MPR memiliki posisi dan kedudukan yang kuat secara instutusi. Inilah yang disebut banyaknya kepentingan jangka pendek dalam UUD 45. Nuansa politik yang menginginkan lembaga presiden tidak terlalu kuat sangat nyata saat pembahasan amandeman UUD 45 ke empat pada periode yang lalu. Implikasinya, maka seperti yang dialami oleh pasangan SBY-JK, setiap akan menerapkan kebijakan-kebijakan harus berjuang mati-matian melalui negosiasi, kompromi dan mungkin juga dengan konpensasi-konpensasi politik agar kebijakannya bisa ditetapkan dan dijalankan.
Di sini ada pertaruangan yang sama-sama memiliki mandate konstitusi. Presiden memiliki mandate dan Legistlative juga memiliki mandate sendiri. Masing-masing sama kuat dan satu sama lain, selama ini menggunakannya untuk kepentingan yang jangka pendek semata. Keduanya sama-sama mengatas namakan kepentingan dan dipilih oleh rakyat. Padahal dalam kenyataannya, para anggota legislative itu hanya mewakili partai dan dipilih oleh pemilih di dapilnya masing-masing. Oleh karena itu, seringkali terkesan belebihan jika rakyat sering dibawa-bawa dan diatasnamakan dalam perseteruan antara eksekutive dan legislative.
Apakah dengan sendirinya legislative yang menjalankan perannya seperti itu salah? Jawabnya tentu tidak. Legislative memiliki dasar dalam UUD 45. Barangkali yang harus dipikirkan sekarang ini adalah, tampaknya pada saat dilakukan amandemen UUD keempat, terjadi tarikan-tarikan yang cukup tajam dan tentu masing-masing memiliki sejarah sendiri. Legislative dalam sejarahnya, khususnya pada era Orde Baru, posisinya sangat lemah dan sering kali hanya menjadi rubber stamp. Era reformasi adalah kesempatan untuk legislative unjuk gigi. Oleh karena itu, pada tahapan amandemen yang dilakukan selama ini, nuansa legislative heavy sangat kuat. Itu suatu yang wajar saja, sebab selama era Orde Baru memang legislative posisinya sangat lemah atau dibuat sedemikian rupa sehingga lemah dibandingkan eksekutive.
Persoalannya kemudian, jika ada dua lembaga Negara yang sama-sama kuat dan satu sama lain sering kali tidak bisa menyatukan kepentingannya yang terjadi kemudian adalah tarikan-tarikan politik yang kuat dan tajam. Tarikan antara legislative di satu sisi, yang dengan mandatenya sendiri sementara presiden di sisi lain, yang mandatnya lebih kuat dipilih langsung oleh rakyat. Eksekutive selama ini lebih tampak tidak berdaya untuk membuat kebijakan-kebijakan karena sering dihadang oleh legislative.
Siapapun presidennya, jika tidak ada keseimbangan dalam hubungan dengan lembaga Negara lainnya, khususnya dengan legislative, akan sangat susah untuk mengimplementasikan janji-janji politiknya. Kebijakan-kebijakan politik yang diambil presiden akan selalu berhadapan dengan kepentingan legislative.
***
Dengan posisi sama kuat seperti itu, yang terjadi sekarang ini adalah terjadinya ke stabilan politik. Memang ketidakstabilan politik ini tidak seektrem saat Presiden Abdurahman Wahid, tetapi dalam kadar tertentu, selama era kepemimpinan Presiden SBY-JK ke stabilan itu juga tampak dalam setiap pengambilan keputusan strategis yang harus mendapat persetujuan legislative.
Jika kita kembalikan kepada masalah amandemen konstitusi, tampaknya apa yang terjadi selama ini merupakan buah dari amandement konstitusi yang ke empat. Pola hubungan antar lembaga Negara menjadi ruwet dan sering konflik, intervensi partai politik di parlemen sangat kuat terhadap presiden, telah menciptakan ketidaksehatan berpolitik. saat ini segalanya bisa diatur oleh DPR, termasuk bermain untuk menambah dan mengurangi anggaran.
Dengan konteks seperti yang terjadi sekarang ini, memang diperlukan adanya keseimbangan antara lembaga DPR/ MPR, yang akan mewakili secara khusus kepentingan-kepentingan masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam, dan lembaga presiden yang, harus berperan sebagai pusat pengambilan keputusan yang paling pokok untuk masa depan bangsa. Tanpa itu, Indonesia akan kembali kepada keadaan tahun 1950-an ketika ada imobilisasi atau kemacetan pemerintahan sebab tidak ada kepemimpinan nasional yang bisa mengatasi kepentingan- kepentingan khusus yang terwakili di DPR. Seperti kita lihat sekarang dengan DPR/MPR yang terlalu kuat dan presiden yang terlalu lemah, sebagian tentunya disebabkan ulah sang presiden sendiri.

3 komentar:

Anonymous said...

bandul politik kita bergerak dari satu titik ke titik yang sangat ekstrim. Pada jaman Orbe Baru, legislative pada titik lemah kemudian pada era repormasi, berada pada titik yang kuat, sementara eksekutive dilucuti kekuasaannya. Dari titik ektrik yang satu ke titik ekstrim yang lain, membuat shock, dan tentu semua itu tidak menguntungkan bagi rakyat.

Anonymous said...

Saya sepakat, tampaknya memang ada yang salah dalam ketata negaraan kita. Untuk itu harus segera diletakan pijakan dasar yang kokoh dan berorientasi jangka panjang. Demikian halnya dalam konteks amandemen kelima, haru clear dan dingin tanpa emosi sesaat...

Anonymous said...

Iya memang, kesimpulannya perlu dilakukan penataan hubungan antar kelembagaan negara. Biar tidak tumpang tindah dan saling mengatasnamakan rakyat.

Network