Sejumlah konflik berbau kekerasan di Indonesia tahun 2007 umumnya dipicu oleh perebutan kekuasaan pada pemilihan kepala daerah. Sekedar contoh bias disebut, misalnya peristiwa di Tuban, dan yang paling anyar adalah yang terjadi di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan.
Pilkada sebagai sumber pemicu konflik, tampak dominant selama kurun 2007. Paling tidak itu menurut amatan dan catatan pegiat resolusi konflik, Ichsan Malik dari Institut Titian Perdamaian dalam seminar "Tahun 2008 Tanpa Kekerasan, Bersama Dalam Damai" minggu lalu. Dibanding tahun sebelumnya, konflik yang terjadi umumnya bernuansa etnis atau agama dan terjadi di hampir satu provinsi. Ini, misalnya, terjadi di Ambon, Poso, dan Sampit. Meski demikian, bukan berarti potensi mencuatnya konflik tidak terjadi di di berbagai wilayah konflik tetap terus meningkat. Mengapa? Sebab konflik yang terjadi tidak pernah ditangani hingga tuntas dan ditambah lagi belum adanya undang-undang penanganan konflik yang baku.
****
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) jauh-jauh hari sudah mengidentifikasi lima sumber konflik yang potensial sehingga harus diwaspadai selama berlangsungnya PILKADA. Pertama, sumber konflik itu terkait masalah etnik dan agama. Konflik seperti ini dapat muncul di wilayah yang sebelumnya telah terjadi ketegangan etnis atau agama, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku serta daerah-daerah lain yang proporsi penduduknya secara etnik atau agama berimbang.
Kedua, mobilisasi politik atas nama daerah (putra daerah asli atau pendatang) yang berpotensi hampir di semua wilayah.
Ketiga, sumber konflik berikutnya adalah premanisme politik dan pemaksaan kehendak dimana gejala tersebut sudah muncul di beberapa daerah. Keempat, konflik serupa juga dapat terjadi setelah pilkada khususnya bagi kandidat yang kalah karena tidak siap menerima kekalahan yang kemudian memprovokasi massa pendukung. Konflik juga bisa bersumber dari kampanye negatif antar calon kepala daerah.
Kelima, konflik yang bersumber dari manipulasi penghitungan suara dan terakhir adalah konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada yakni UU No32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No.6/2005 tentang pemilihan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakilnya.
Dengan adanya PILKADA, memang menambah eskalasi dan meningkatnya suhu politik. Di beberapa tempat, yang tidak termasuk katagori wilayah konflik sekalipun, eskalasi politik cukup tinggi. Sebelum pelaksanaan PILKADA gelombang pertama misalnya, beberapa kejadian menunjukkan indikasi tingginya suhu politik. Di beberapa kabupaten, terjadi gelombang demonstrasi disertai perusakan kantor-kantor KPUD. Peristiwa yang terjadi di Bima misalnya, pendopo kabupaten dibakar massa.
Momentum PILKADA memang, memberi ruang dan manifesnya berbagai berbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat. Tentu saja, potensi itu membutuhkan pengelolaan secara arif-bijaksana dari semua pihak. Pengalaman selama ini menunjukkan berbagai kalangan masih belum mampu menjadikan perbedaan sosio-kultural sebagai modal untuk memperkokoh ikatan kebangsaan, tata-pemerintahan dalam bingkai system yang demokratis.
****
PILKADA pada dasarnya memang merupakan mekanisme politik. Wadah institusionalisasi konflik melalui mekanisme politik. Berpedaan aspirasi dan peredaan politik, diselesaikan melalui kontestasi politik dengan mekanisme yang santun dan demokratis. Untuk itu, agar PILKADA tidak menjadi potensi pemicu terjadinya konflik seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, maka diperlukan beberapa terobosan-terobosan politik yang jitu. Pertama, berbagai pihak untuk mengantisipasi terjadi kekerasan, maka disambing menjunjung tinggi aturan main, maka segenap pihak perlu membuat konsensus local. Konsensus itu tidak hanya melibatkan pemanggku kepentingan sepeti KPUD, Pemda, DPRD, Partai-partai dan para kandidat. Akan tetapi semua pihak membuat kesepakatan bersama tentang PILKADA yang damai dan jujur.
Konsensus itu, akan memperkuat dan mencegah terjadinya kekerasan dan konflik dalam PILKADA mengingat, dalam banyak kasus, kekerasan politik dalam PILKADA itu sebagai implikasi dari tidak memadainya aturan perundang-undangan yang ada, pada satu sisi. Pada sisi lain, juga konflik yang terjadi seringkali merupakan perpanjangan dari konflik masa lalu yang tidak terselesaikan.
Ini artinya, untuk mencegah dan menghentikan terulangnya konflik dalam PILKADA, maka satu-satunya cara yang bisa digunakan adalah mekanisme tradisional. Suatu cara-cara yang di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam banyak kasus, mekanisme ini bisa meredam emosi politik yang terjadi selama pelaksanaan PILKADA. Akan tetapi di balik semua itu, Pelaksanaan PILKADA yang diwarnai konflik, sumbunya paling banyak berangkat dari pemanggku kepentingan PILKADA itu sendiri. Untuk itu, KPUD, Pemda, Panwas, Kandidat dan Parpol dituntut untuk bisa mematuhi aturan main. Bagi pelaksana PILKADA, tak ada cara lain, harus tidak memihak, netral dan menjalan tugas sesuai aturan.
Ellyasa KH Darwis
Oleh Seno Gumira Ajidarma The short version of this paper first published
as proceedings from 2nd International Conference on Strategic and Global
Studies ...
3 komentar:
Salah satu penyebab konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Mobilisasi politik atas nama etnik dan agama, baik secara bersama maupun terpisah, potensial muncul di wilayah-wilayah di mana ketegangan etnis cenderung tinggi.
Moga-moga catatan dan pengalaman 2007 menjadi pelajaran dan bisa mendewasakan secara politik semua pihak yang terlibat dalam PILKADA. Dengan begitu kita bisa lebih maju, santun dan cerdas dalam belajar demokrasi.
Tahun baru 2008 PILKADA harus aman dan damai. Itu do'a dan sekaligus harapan saya. Kepada semua pihak mari kita buka lembaran baru dan niat baru bahwa warga negeri ini bisa santun dan berpolitik tanpa kekerasan.
Post a Comment