Pilkada Ulang (?)

Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan digelarnya Pilkada ulang di empat kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) dinilai kubu pasangan calon gubernur Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang tidak adil. Dengan keluarnya keputusan itu berarti MA mengabulkan gugatan Amin Syam-Mansyur Ramli untuk digelarnya pilkada ulang di kabupaten Bone, Gowa, Bantaing, dan Tana Toraja.


Majelis hakim agung, dalam pertimbangannya berpendapat prosedur bersengketa dalam masalah pemilu masuk dalam lingkup hukum publik, bukan hukum privat. Karena itu, pembuktian hukumnya seperti halnya dalam hukum pidana dan tata usaha negara. Diperlukan hasil pilkada yang betul-betul memberikan gambaran yang riil tentang keinginan masyarakat tentang siapa yang mereka kehendaki, hal mana dapat dilakukan melalui pemilu ulang.

Tak urung keputusan ini membuat suasana tegang. Pasalnya, yang dipersoalkan hanya di beberapa TPS. Akan tetapi MA malah memerintahkan pemilihan ulang di seluruh titik di empat kabupaten. Beberapa kalangan menilai MA telah melampaui kewenangan dan membingungkan. Tidak ada peraturan yang memberikan kewenangan kepada MA untuk meminta pengulangan pemilihan kepala daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memang tidak ada pasal yang memberikan kewenangan kepada MA untuk bisa memutuskan pilkada digelar ulang. Wewenang MA hanya mengklarifikasi bukti yang diajukan pelapor. MA tak memiliki wewenang untuk menentukan pilkada ulang.

Merujuk kepada UU No 32/2004, pemungutan suara ulang juga dilakukan di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, penyelesaian sengketa dilakukan dengan penghitungan ulang dan tidak dengan pemungutan suara ulang.
***

Seperti diketahui, pelaksanaan PILKADA Sulsel memang menyisakan persoalan. Salah seorang pasangan keberatan dan menempuh jalur hukum. Ada dua gugatan yang diajukan, sengketa hasil perolehan suara ditujukan ke KPU Sulsel, sedangkan sengketa proses pelaksanaan pilkada akan ditujukan ke Panwas.

Selisih suara pemenang memang tipis. Perbedaan perolehan suara pasangan Amin Syam-Mansyur Ramli dengan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’’mang dibawah 1 persen atau sekitar 27 ribu lebih suara.

Tak urung banyak spekulasi yang berkembang dengan ketupsan MA ini. Selain dinilai melampaui batas kewenangannya, terdengar juga sayup-sayup suara adanya kemungkinan intervensi politik dalam keputusan MA. Di sinilah agaknya yang kemudian membuat persoalan ini menjadi seru dan hangat. Disamping itu juga, menimbulkan ketegangan baru.

Kubu partai Golkar, yang merasa mendapat angin kemenangan, meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum. Tak urung, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla meminta warga dan tokoh di Sulsel menghormati proses hukum dalam kasus Pilkada Sulsel. Pilkada itu sesuai keputusan KPU Sulsel dimenangi pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang. Pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly, yang diajukan Partai Golkar, mengajukan keberatan ke MA. Seluruh proses pilkada punya aturan, termasuk soal keberatan. Kalau keberatan dalam pemilihan gubernur tentu ke MA. Ini satu proses yang sah. Sebagai negara hukum, kita harus menjalankan ketentuan yang diputuskan MA.

Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang calonnya merasa dirugikan mendorong dan mendukung kandidatnya untuk melakukan pengajuan peninjauan kembali (PK) terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan pengulangan Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) di empat kabupaten. MA seharusnya hanya melakukan uji terhadap bukti penggelembungan suara seperti yang disampaikan pasangan calon yang merasa dirugikan.

Dari sudut pandang PDIP, adanya putusan melakukan pengulangan di empat daerah di
Sulsel, ini menimbulkan tanda tanya besar apakah tidak ada intervensi politik terhadap persoalan yang seharusnya diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang dimiliki KPUD tingkat I dan II dan juga MA. Tak hanya itu, PDIP juga menegaskan jika putusan MA ini dibiarkan maka akan mencederai demokrasi yang telah dibangun bersama. Jika semua masalah pilkada diputuskan diselesaikan dengan pemilihan ulang maka akan menganggu demokrasi. Tak hanya itu, dikuatirkan keputusan MA dapat menjadi preseden bagi daerah-daerah lain kalau mereka tidak bisa selesaikan masalah yang berkaitan dengan pilkada akan mengajukan kepada MA.

****
Kedua belah pihak memiliki argument yang sama-sama kuat. Akan tetapi diantara kedua argument itu akan ada satu ketupusan hukum yang tepat sesuai dengan konteks dan masalah.

Jalan yang ditempuh oleh kandidat Golkar memang legal dan sementara itu upaya PK yang dilakukan kandidatnya PDIP juga suatu yang sesuai dengan jalur hukum. Yang kita tunggu sekarang adalah hasil dari PK. Jika tidak dikabulkan artinya akan ada PILKADA ulang di beberapa daerah, dan jika dikabulkan artinya kemenangan kandidat PDIP itu sudah sah secara hukum.

Di luar soal hukum, dimana-mana jika selisih suara pemenang tipis akan menimbulkan ketegangan dan masing-masing pihak akan berjuang untuk kemenangannya sendiri.

Ellyasa KH Darwis
Opini Indonesia, edisi 80/24-30 Des 2007

7 komentar:

Unknown said...

Semoga tidak ada ulangan untuk ke 3, 4 dan seterusnya

Anonymous said...

Kok penulis artikel ini tidak berpendapat yaaaa. Hanya menggambarkan tarikan-tarikan dua kepentingan. Yang jadi soal itu (1) pilkada ulang, (2) keputusan yang tidak lazim, dan melampaui batas wewenan MA. Ketupusan itupun tidak bulat.

ichal said...

saya tidak begitu paham tentang ini, tapi malah ingin bertanya dari manakah dana PILKADA ulang ini???

ataukah memang sudah ada anggarannya untuk pilkada ulang?

Anonymous said...

Emosi, energi massa, duit miliaran, kekacauan birokrasi, hipertensi politik, dan amuk massa para pendukung akan melebur menjadi bencana sosial dengan biaya teramat mahal. Lantas, kalau kemudian pengulangan pilkada dilakukan, apakah ada jaminan bahwa semua pihak akhirnya ikhlas menerima hasilnya? Tentu saja tidak. Perseteruan ini akan berlangsung terus menerus seperti lingkaran setan, karena kenyataan membuktikan bahwa tidak ada satu pun lembaga atau keputusan yang dipercaya punya integritas bersih di negara ini.

Seberapa besar lagi biaya sosial yang mesti dihabiskan untuk 'sekedar' pemilihan ulangan ini? Dan ujung2nya, hanya untuk membuktikan bahwa sistem ini memang bobrok? Sekiranya kubu 'Asmara' yang menang, maka KPUD Sulsel adalah lembaga rongsokan yang tidak akan lagi dipercayai, dan kalau pihak 'Sayang' yang kembali menang, maka Mahkamah Agung adalah pemutus perkara yang amat sangat tidak kompeten!

Anonymous said...

inilah wajah politik kita... tidak usah heran, kadang2 muak melihat kelakuan elit2 politik kita.

lama2 jadi bosan melihat semua ini...

Anonymous said...

Bagaimanapun juga,
Pilkada merupakan bagian dari Political High Cost.
Mungkin perlu di usulkan pilkada berulang2 dengan biaya supermurah.

Cipu Suaib said...

Saya lebih setuju jika diadakan penghitungan ulang, soalnya kalo pemilu ulang kan makan biaya lagi.......

Network