Birokrasi itu pelayan publik. Memiliki fungsi pemberdayaan, fasilitasi dan pelayanan. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan yang memadai dari aparat Negara. Birokrasi itu representasi Negara, tangan-tangan Negara yang melaksanakan tugas untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Itu agaknya arah yang hendak dituju dari Menteri Pendayaan Aparatur Negara, Taufik Effendi dalam dengar pendapat dengan Komisi II DPR, beberapa waktu lalu.
Untuk memastikan ke arah itu, kini sedang disiapkan landasan hokum yang akan mengawa arah reformasi birokrasi. Ada Sembilan RUU yang sudah disiapkan. Diantaranya RUU Administrasi Pemerintahan, Satu RUU yang inspiringnya dari Verwaltungsverfahrengesetz, UU Prosedur Pelayanan Administrasi Negara Jerman. Dalam RUU ini, ditegaskan soal perlindungan masyarakat dari tindakan birokrat yang sewenang-wenang. Hak dasar warga Negara dijamin untuk mendapatkan pelayanan birokrasi sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.
Kelak birokrasi tidak bisa sewenang-wenang lagi. Masyarakat memili ruang dan hak untuk melakukan tuntutan jika tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Birokrat tidak bisa lagi menjalankan tugas dan fungsinya dengan menomor duakan pelayanan masyarakat. Jika itu terjadi, bisa digugat dan sangsinya, paling patal adalah pencabutan jabatan.
****
Tentu saja kita menantikan kapan terealisasinya RUU ini menjadi UU. Sebagaimana kita ketahui bersama, melakukan transpormasi birokrasi memang suatu yang berat. Birokrasi yang tugasnya selama ini harusnya melayani menjadi dilayani. Tak heran kemudian, apabila masalah yang mestinya sederhana, bisa berlarut-larut jika berurusan dengan birokrasi.
Mentalitas birokrat yang seperti itu, memang memiliki akar budaya yang panjang. Sudah sejak lama, sejak jaman penjajahan posisi birokrat (pamong praja) memiliki kedudukan atau kelas terhormat dalam struktur masyarakat kita. Menduduki sebagai kelas social yang tersendiri dan terhormat. Sejak jaman dulu, birokrasi itu selalu memihak kepada kepentingan atasan. Tak jarang ia menjadi alat kepentingan politik yang berkuasa.
Pada jaman Orde Baru sangat jelas. Birokrasi yang harusnya netral telah menjadi alat politik, menjadi mesin politik, dan memang berpolitik (bureaucratic polity). Konsekuensi logis dari birokrasi yang berpolitik itu, kemudian masalah pelayanan kepada masyarakat menjadi rendah. Terabaikan sama sekali. Tak hanya itu, kinerja birokrasi juga lamban. Tidak cekatan untuk melayani masyarakat. Disamping juga seringkali diskriminatif dalam melakukan pelayanan. Terhadap lawan-lawan politik, dipersulit sebaliknya terhadap relasi politik atau yang sealiran politiknya, dilapangkan jalannya. Tak jarang juga lewat pintu belakang.
Kalau tidak salah, mantan Menteri Sekretaris Negara, Djohan Effendi, pernah mengatakan bahwa kinerja birokrasi kita memang memprihatinkan. Manual, tidak kreatif. Salah satu solusi yang dikemukakan adalah melakukan pensiun dini terhadap birokrat yang kinerjanya pas-pasan.
Hemat saya, semua itu adalah konsekuensi dari rekruetment yang tidak transparan dan berbau KKN. Bukan rahasia umum lagi, dari dulu sampai kini, masalah kedekatan atau titipan merupakan hal biasa dalam rekruetmen birokrasi. Relasi dan titipan, sudah menjadi rahasia umum dalam proses rekruetment.
Jadi jika birokrasi kita sering disebut lamban, kaku, berbelit-belit dan tidak ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyakat? Semua itu memiliki latar belakang, social, politik dan budaya yang panjang. Ini agaknya yang hendak dipangkas oleh Menteri Pendayaagunaan Aparatur Negara dengan mengajukan RUU Administrasi Pemerintahan untuk disahkan menjadi UU Administrasi Pemerintahan.
****
Dalam RUU Administrasi Pemerintahan, posisi rakyat memang diberi ruang cukup luas. Warga masyarakat memiliki hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan, melakukan keberatan terhadap instansi pemerintah melalui Komisi Ombusment atau lembaga lain. Warga masyarakat juga bisa menggugat tindakan atau keputusan instansi pemerintahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
RUU itu juga mencantumkan hak dengar pendapat pihak-pihak yang terlibat serta hak mendapat akses untuk melihat dokumen-dokumen yang dijadikan dasar dalam menetapkan keputusan administrasi. Masyarakat diberi ruang untuk mendapatkan dokumen yang relevan sesuai kepentingannya. Hak dengar pendapat, mengharuskan aparat administrasi pemerintah, memiliki kewajiban untuk memberikan akses dokumen sebelum dijatuhkannya keputusan. Lebih-lebih terhadap keputusan yang memberatkan, membebani hak perorangan.
RUU Administrasi Pemerintahan, agaknya merupakan cara yang ampuh untuk melakukan terobosan dalam transpormasi structural dan kultural dalam tubuh birokrasi pemerintahan kita.
Ellyasa KH Darwis
Versi Cetaknya dimuat di Opini Indonesia
Edisi 74, 11-18 November 2007
Oleh Seno Gumira Ajidarma The short version of this paper first published
as proceedings from 2nd International Conference on Strategic and Global
Studies ...
2 komentar:
Selain adanya UU, sebenarnya yang mesti dibenahi adalah mental pegawai negeri. Selama ini mereka merasa seperti "tuan", bukan melayani masyarakat dengan baik, malah seperti gila hormat. Kalau masyarakat memerlukan mereka harus "menunduk nunduk" dulu baru mereka mau bekerja (baca: melayani).
Sisi lain yang mesti dibenahi juga adalah meng optimalkan pegawai negeri. Kadang2 saya sering melihat ada pegawai negeri yang benar sibuk bekerja tanpa pamrih, tapi tidak sedikit yang bekerja seadanya saja, malah tidak sedikit yang bekerja santai, baca koran, main catur disaat jam kerja :)
masalahnya bukan di UU itu, baik sey dengan adanya UU Administrasi itu, tetapi hemat saya yang harus ada itu adalah UU Pelayanan Publik lebih dulu.
Post a Comment