Iklan Politik Saja Tak Cukup

Menjelang 2009, beberapa tokoh politik kini sibuk mempromosikan diri lewat berbagai media massa untuk melakukan sosialisasi diri. Langkah ini dilakukan untuk mendongkak popularitasnya di hadapan publik. Sosialisasi diri bagi seorang tokoh politik memang suatu yang penting. Dengan upaya itu paling tidak masyarakat tahu nama. Pepatah kuno berlaku di sini--- ini tampaknya yang dipegang erat-erat oleh semua politisi--- ”tak kenal maka tak memilih”.

Melalui iklan media, memang cara pragmatis untuk mendongkrak popularitas seseorang. Semakin sering muncul atau disebut media, maka dengan sendirinya akan semakin dikenal masyarakat. Akan tetapi dalam konteks kesadaran politik masyarakat, pengamat politik Arbi Sanit, menyebut kegiatan itu sebagai bentuk kecurangan kepada masyarakat. Mengapa? Jika hanya melalui iklan masyarakat tidak dapat menilai kompetensi dan integritas seseorang. Masyarakat hanya dijejali kelebihan-kelebihannya semata. Dengan cara demikian, memang popularitasnya naik. Akan tetapi, persoalannya, untuk menjadi pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas. Dia harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji.

Kritik Arbi Sanit tepat. Untuk menjadi seorang pemimpin memang tidak hanya cukup bermodalkan popularitas semata. Paling tidak ada tiga hal penting yang harus menjadi pertimbangan dan harus menjadi perhatian. Pertama, masalah konstituensi. Basis dukungan menjadi suatu yang penting, lebih-lebih dalam pemilihan lansung seperti yang terjadi sekarang ini. Untuk dapat menggait dukungan, memang diperlukan upaya sosialisasi dan pencitraan yang sedemikian rupa sehingga masyakat luas mengenal dan menjatuhkan pilihan. Pertanyaannya apakah dengan cara demikian sudah cukup? Dalam kaca pandang politisi, mungkin upaya mengiklankan diri melalui media merupakan cara yang paling mudah dan praktis dalam segala hal. Seketika masyarakat bisa mengenal dan dengan demikian meningkat popularitasnya.

****
Sisi lain, yang lebih penting adalah soal kompetensi dan kapabilitas. Basis popularitas dan dukungan tentu saja tidak cukup, tanpa dilandasi oleh bekal kompetensi dan kapabilitas yang memadai atau lebih dibanding yang lain. Pengalaman selama ini membuktikan, sejak Pemilu 2004 banyak anggota DPRDII yang memiliki basis dukungan yang kuat akan tetapi kedodoran pada masalah kapabilitas dan kompetensinya. Tidak heran kemudian apabila banyak anggota DPRD yang tidak mengerti peran dan fungsinya, alin-alih mengawal aspirasi politik konstituen, banyak yang justru tak ubahnya jaman Orde Baru. Duduk, Datang dan Diam.

Masalah penting lainnya adalah integraitas moral politik. Basis dukungan didukung dengan kompetensi saja ternyata tidak cukup. Tanpa dibarengi dengan integritas moral politik, maka akan menjebak ke dalam menara teknorati. Membuat kebijakan-kebijakan yang jauh dari realitas masyarakat, asik memikirkan gagasannya sendiri yang tidak membumi dan menafikan partisipasi dan aspirasi masyarakat. Dalam kadar serta intensitas tertentu, elit politik di negeri ini, meski telah banyak yang terjebak ke dalam pembuatan kebijakan politik yang sangat teknokratik. Mengabaikan partisipasi dan aspirasi rakyat pemilihnya yang menjadi konstituen.

Pertanyaannya apakah dengan melakukan pencitraan seperti yang dilakukan sekarang ini akan mampu menjawab problem dasar yang dialami kehidupan politik kita sekarang? Jawabnya pasti tidak. Bagaimanapun politik pencitraan, tidak merupakan representasi dari realitas sesungguhnya seorang politisi. Pencitraan melalui media massa tak lebih sebagai hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Ibaratnya hanya menambilkan panggung depan dari seorang politisi dan tidak akan menambilkan pangggung belakang seorang politisi.

Kompetensi dan integrasitas moral politik, pada dasarnya merupakan panggung belakang. Satu panggung yang tidak dengan mudah dicitrakan sedemikian rupa dalam waktu dekat. Beberapa politisi kini tengah mencoba menonjolkan sisi panggung belakang melalui iklan, tentu saja menampilkan yang baik-baik, yang kadang juga tidak sesuai dengan realitas. Menonjolkan yang baik-baik, menonjolkan segala kelebihan agar bisa diketahui publik, memang strategi dasar yang dilakukan dalam pencitraaan. Menutup rapat-rapat, atau mengaburkan masalah-masalah yang menjadi titik lemah, juga menjadi bagian yang dilakukan dalam strategi pencitraan.

Pencitraan memang penting, akan tetapi memang juga bisa menjebak masyarakat pemilih. Seperti kita tahu, berkat strategi pencitraan yang jitu dan tepat, SBY-JK mampu mengalahkan ”mesin darat” partai politik dalam Pemilu yang lalu. SBY dalam menggalang dukungan lebih menekankan kepada pencitraan dirinya untuk melawan mesin partai. Hasilnya, sangat spektakuler. Persoalannya kemudian, pencitraan yang sedemikian rupa dan mampu memukau masyarakat pemilih. Dari berbagai survey yang dilakukan, kini popularitas SBY-JK mulai menurun. Penurunan ini mengindikasikan adanya kekewaan terhadap citra yang dibangun SBY-JK sebelumnya, akan tetapi pada prakteknya setelah memegang tidak seperti yang dicitrakan sebelumnya. Wajar kemudian apabila ekspektasi masyarakat menjadi turun dan pada saat yang sama, popularitas SBY-JK menurun juga.

Bagaimanapun pencitraan itu merupakan rekayasa dan realitas media. Siapapun bisa direkayasa sedemikian rupa dengan cara dan momentum yang tepat untuk mendapatkan simpati publik. Pekerjaan media membingkai sedemikian rupa untuk kemudian melipatkan gandakan pesan. Oleh karena itu, pencitraan pada dasarnya merupakan realitas ciptaan yang dibuat sedemikian rupa, yang mendekati dengan harapan dan aspirasi masyarakat pemilih. Dengan cara demikian, harapan-harapan masyarakat diinternalisasi melalui pencitraan-pencitraan yang dilakukan melalui media massa. Pada berikutnya, masyarakat akan mempertimbangkan dan menimbang-nimbang akan harapan-harapan yang dibangun atau ditawarkan oleh elit politik. Langkah berikutnya, kegiatan pencitraan diarahkan kepada mempengaruhi pilihan politik.


*****
Apabila pencitraan semata-mata sebagai upaya mendekatkan citra elit politik dengan harapan yang berkembang di masyarakat, maka jelas pencitraan merupakan bagian dari pembodohan masyarakat. Bagaimanapun pencitraan hanya menggambarkan wajah depan dari panggung seseorang, yang sudah dipoles dan dipulas sedemikian rupa agar tampak menawan dan sejalan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Melalui pencitraan, elit politik memang sedang melakukan framing terhadap persepsi politik masyarakat untuk kepentingan dirinya. Persepsi, kesadaran dan cita rasa politik masyarakat sedang diarahkan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas yang bersangkutan dalam kontestasi politik yang akan datang.

Jika itu yang dimaksud, maka panggung politik di negeri ini tak ubahnya panggung sandiwara semata. Sebab pencitraan hanyalah sebagian kecil dari upaya-upaya politik, bagaimanapun juga harus ada basis yang harus digalang sebagai modal dasar untuk bisa maju dalam kontestasi politik menuju kursi kepridenan periode mendatang.

Pelajaran penting mungkin bisa dipetik dari apa yang dilakukan SBY-JK pada Pilpres yang lalu, dengan modal pencitraan yang kuat, mengena dan mampu membingkai harapan politik masyarakat. SBY-JK berhasil melenggang menuju tampuk kepemimpinan di negeri ini. Mayoritas pemilih memberi mandat untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Belakangan diketahui, mandat dari mayoritas rakyat saja tidak cukup untuk menjalankan politik pemerintahan. Banyak tarikan-tarikan lain, di sana sini harus kompromi demi kompromi, yang ujung-ujungnya sedikit banyak meruntuhkan citra yang selama ini dibangun melalui media. Kapabilitas dan integritas politiknya menjadi dipertanyakan ketika banyak membuat kebijakan yang membuat kalangan bawah semakin terjepit oleh masalah sosial ekonomi.

Oleh karena itu, maka menjadi penting dan harus menjadi catatan bagi para elit politik yang belakangan getol melakukan pencitraan melalui media massa. Sebelum ancang-ancang untuk maju ke dalam bursa PILPRES, yang harus dilakukan adalah memperkuat partai politiknya kinerjanya meningkat dan mendapat dukungan politik sekaligus menjadi pemenang dalam Pemilu Legislative. Bagaimanapun memenangkan partai politiknya dalam kancang Pemilu Legislative merupakan cerminan dari kinerja, kompetensi dan integritas moral politiknya. Memenangkan dalam Pemilu Legislative, sudah menjadi fatsun politik, pemimpin partainya harus maju untuk memperebutkan posisi nomor satu.

Jadi, kepada elit politik di negeri ini, sebelum membuat iklan politik di media massa, ada baiknya disarankan untuk kembali ke kandang partai politiknya. Optimalisasi kerja partai politiknya agar mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat, setelah terbukti, baru melakukan pencitraan diri melalui media massa seluas-luasnya.

7 komentar:

Titi Resmiyati said...

Jangan sampai masyarakat terpukau hanya karena iklan, sebab kecap pasti nomor satu. Tak ada yang nomor dua. Tokoh-tokoh politik yang getol beriklan ria itu pasti mengejar 2009.

Anonymous said...

Untuk bisa dipopuler dan dikenal bayak pihak memang calon pemimpin harus dikenal luas oleh rakyat. Dikenal sosoknya, gagasannya, agenda-agenda politiknya. Hanya saja,itu semua tidak bisa dilakukan secara intstan. Menjadi elit politik memerlukan modal sosial yang harus dengan sabar dan teruji, tidak dengan cara instan. Pemimpin tidak bisa dihasilkan dengan jalan pintas....

Anonymous said...

Itu cara cepat dan tentu saja (sangat) mahal untuk dikenal masyarakat masyarakat luas.

Anonymous said...

Saya kok melihat fenomena semacam ini yang selalu muncul dan berkembang secara 'berbondong - bondong' merupakan refleksi dari ketidak mapanan sipolitisi, sebab mereka cuma hangat pada saat menjelang pemilu dan pada saat popularitas begitu dituhankan guna meraih posisi kehormatan dan yang pasti kekuasaan sinonimnya uang, doku atau duit, cuma masalahnya politisi kita kebanyakan cuma seperti amuba, itu binatang bersel satu yang tidak jelas gender-nya, mereka itu makan, minum, berak, bercinta, dan berketurunan juga dri sel yang sama, nah politisi kita juga begitu, berjanji, kampanye, berteriak, mengumpat, bersorak, berbohong, dan menipu rakyat juga menggunakan mulut yang sama, trus dengan mudahnya mereka akan berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain.... semoga nurani politisi kita semakin baik, bisa gak ya?

Anonymous said...

Sepakat dengan mbak Titi... Masyarakat harus peka terhadap para tokoh politik yang bersaing mendapatkan simpati rakyat.

Anonymous said...

itu sangat menarik untuk dibaca. Saya ingin mengutip posting Anda di blog saya. Hal ini dapat? Dan Anda et account di Twitter?.

Anonymous said...

itu sangat menarik untuk dibaca. Saya ingin mengutip posting Anda di blog saya. Hal ini dapat? Dan Anda et account di Twitter?

Network