Ada Asap Ada Api

Seorang politisi di Senayan mewacanakan pembubaran KPK. Salah satu alasan yang dikemukakan karena KPK sebagai lembaga dinilai terlalu super. Untuk itu harus dibatasi wewenangnya. Caranya, dengan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Tidak hanya hanya itu, kalau perlu KPK dibubarkan saja. Sontak usulan itu mendapat reaksi keras dari banyak kalangan. Politisi itu kemudian membantah dan pihak media dituding sebagai salah memahami statemennya. Bantahan boleh saja dikemukakan, akan tetapi setelah ditelusuri ternyata statemen itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya, gagasan itu pernah dilontarkan oleh yang bersangkutan dalam kesempatan diskusi "Skema Pemberantasan Korupsi di Indonesia Salah Arah" di Jakarta.

Mengapa KPK perlu dibubarkan, mengapa banyak pihak yang menghendaki agar KPK dihilangkan saja? ”Tak ada asap kalau tidak ada api”, itu bunyi pepatah lama yang sudah turun temurun berkembang di masyarakat. Atau dalam framing analisyst, tak ada wacana kalau tidak ada kepentingan yang hendak digoalkan. Pertanyaannya, dalam kasus wacana politik membubarkan KPK oleh sebagian kecil anggota DPR di Senayan itu, apa sebenarnya hasrat yang tersembunyi dibalik statemen atau ancaman membubarkan KPK.

Mudah saja menebak hasrat tersembunyi dibalik ancaman itu. Paling tidak statemen itu bisa dimaknai dua hal. Pertama, statemen itu bisa dimaknai sebagai unjuk kekuatan anggota DPR yang memikiki otoritas kekuasaan untuk melibas eksistensi KPK secara kelembagaan. Kedua, statemen itu bisa juga dimaknai sebagai peringatan atau early warning signal bagi KPK agar tidak terlalu jauh merangsek menindak pelaku kejatahan korupsi jika pelakunya adalah kalangan dewan.

****

Beberapa kalangan di DPR yang gerah dan terusik oleh gerakan KPK dalam melakukan penindakan terhadap kasus korupsi, mulai mewacanakan atau lebih tepatnya melakukan ancaman untuk membubarkan KPK. Dalam praktek wacana politik, gagasan untuk membubarkan KPK jelas merupakan ancaman atau perlawanan terhadap kiprah dan gerak KPK belakangan ini. Suara lantang seperti ini, tentu bukan hal yang baru.

Munculnya keinginan membubarkan KPK, memang tidak mewakili aspirasi mayoritas dari kalangan DPR. Hanya saja aspirasi seperti itu layak diberi catatan khusus dan kalau perlu dikasih garis bawah tebal. Ada beberapa hal penting yang harus dicermati. Pertama, suara seperti ini jelas bertentangan dengan aspirasi masyarakat luas yang menghendaki perlunya penindakan tanpa pandang bulu terhadap siapapun pelaku tindak kejahatan korupsi. Kedua, aspirasi seperti itu tentu tidak muncul dengan sendirinya. Sebagaimana pepatah lama, tidak ada asap kalau tidak ada api. Tentu dan pasti dibalik gagasan itu, ada kepentingan yang mengancam dan oleh karena itu, cara paling jitu dan pamungkas adalah dengan membubarkan KPK secara institusi. Jika gagasan ini berhasil, maka tak ada lagi duri dalam daging yang mengancam. Jelas ada kepentingan tertentu dan ada pihak-pihak tertentu pula yang gerah dan risau dengan sepak terjang KPK dalam menindak pelaku kejahatan korupsi.

Ketiga, yang paling merisaukan lagi adalah gagasan itu berhembus di kalangan DPR. Ini tentu merupakan ironi. Seperti diketahui bersama, dalam survey yang dilakukan oleh Transparansi Internasional beberapa tahun lalu, persepsi masyarakat menempatkan DPR sebagai salah satu institusi yang menduduki ranking tertinggi sebagai lembaga yang korupsi. Persepsi masyarakat ini, lagi-lagi tidak berkembang dengan sendirinya tanpa preseden, tanpa konteks dan latar belakang dan tentu saja acuannya adalah apa yang terjadi selama ini. Di mana banyak anggota DPR yang berurusan dengan pengadilan dan kesandung kasus korupsi.

Jadi, statemen itu bisa juga dipandang pada posisi sebagai serangan balik terhadap KPK. Ancaman pembubaran, tentu bukan pertama kali. Oleh karena sepak terjangnya yang menggiriskan, berkali-kali KPK mendapat serangan agar bubar atau dibubarkan. Ancaman itu seringkali disebut sebagai corruptors fight back (serangan balik para koruptor). Salah satu modus yang digunakan adalah dengan menggugat sisi konstitusionalitasnya melalui permintaan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sekurang-kurangnya sudah ada tujuh kali. Ada yang minta KPK dinyatakan inkonstitusional karena mengacaukan sistem ketatanegaraan, ada yang menggugat kewenangan KPK yang luar biasa sehingga menjadi superbody yang dengan seenaknya bisa melanggar HAM, menyadap pembicaraan, menjebak penyuap, dan sebagainya.

Terhadap permintaan yudicial review itu, putusan MK selalu menegaskan bahwa keberadaan KPK dengan segala posisi ketatangeraan dan kewenangannya adalah konstitusional, sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Memang ada satu putusan MK tentang keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang merupakan pasangan KPK untuk mengadili para koruptor yang dibatalkan. Melalui putusan No 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2007, MK menyatakan, keberadaan pengadilan tipikor inkonstitusional karena dibuat berdasar pasal 53 UU KPK, padahal seharusnya dibuat (langsung) berdasar konstitusi.

Modus lain yang digunakan adalah melalui mekanisme Legislative Review. Sebagian anggota DPR. Kabarnya sudah lama yang berkehendak melakukan upaya membubarkan KPK melalui legislative review yaitu pencabutan UU KPK oleh DPR. Argumen yang dikemukakan adalah, keberadaan KPK tidak perlu sebab sudah ada kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan biasa. Dan yang perlu dilakukan tinggal upaya memperkuat atau memberdayakan intrumen yang ada melalui sistem ketatanegaraan yang normal.

*****

Sebetulnya kalau melihat riwayat dibentuknya Lembaga KPK. Lahirnya lembaha ini berangkat dari kekecewaan atas lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia dan terutama atas tidak optimalnya kinerja polisi dan kejaksaan, maka dapat dipahami kekecewaan publik tersebut. Mempertimbangkan bahaya korupsi yang demikian dahsyat tersebut sinyalemen upaya yang mengarah kepada pembubaran korupsi memang patut untuk dicermati, dan keberadaan KPK harus dipertahankan. Badan Pemberantasan Korupsi ini telah diperkuat oleh United Nations Against Corruption, 2003 yang pada saat ini merupakan International Guidelines Combating Corruption dan telah diratifikasi oleh Indonesia, yang tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan demikian seharusnya lembaga ini dipertahankan, bahkan ditingkatkan kinerjanya terutama dengan Pengadilan Tipikor dan hakim ad hoq nya.

Kinerja KPK memang belum menggembirakan. Kinerja belum mampu memenuhi keinginan publik. Pada sisi lain, keberadaan KPK belakangan ini sudah menunjukkan kecenderungan menjadi alat politik kekuasaan. Sementara kasus-kasus yang diselesaikan berskala kecil, sehingga muncul persepsi di kalangan masyarakat, bahwa KPK dalam menjalankan tugasnya sering dituduh sebagai melakukan tebang pilih.

Harus diakui memang harapan masyarakat sangat besar terhadap KPK. Akan tetapi bila menilik kepada sejarah, sebelum KPK lahir, tak ada satu pun kasus korupsi yang ditebang atau dipilih karena tidak ada yang ditangani. Semua perkara yang berindikasi kuat mengarah ke pidana korupsi terhenti. Sejak KPK dibentuk tahun 2003, banyak koruptor yang tertangkap lalu diadili. Tentu sedikit banyak menggambarkan adanya kemajuan dalam pemberantasan korupsi. Nah yang dibutuhkan bagi KPK sekarang ini adalah back up keberadaan KPK agar kinerjanya terus ditingkatkan. Bagaimanapun permasalahan korupsi di Indonesia, sudah mencapai titik mengkhawatirkan.

KPK memang suatu lembaga yang hampir-hampir bisa disebut sebagai super body. Memiliki kewanangan dan mandate konstitusi sebagai lembaga pemberantas korupsi. Jika kinerjanya biasa-biasa saja, maka selalu dicibir dan menjadi bahan kritik yang tajam. Pada sisi lain, jika menjalankan tugasnya dan bersinggungan dengan lembaha lain, semacam DPR kemudian muncul bersinggungan-bersinggungan dan tak jarangan ketegangan-ketegangan sebagaimana terjadi saat akan dilakukannya penggeledahan ruang kerja Al Amin Nur Nasution.

Hubungan masyarakat dengan KPK pun sering mencerminkan hit and love relationship. Jika kinerja KPK tidak menggembirakan, masalah korupsi yang ditangani kecil-kecil tak mampu menangkap masalah kakap, maka kalangan pun ramai-ramai menyoroti KPK. Pada saat seleksi anggota, ketika tokoh-tokoh yang dipandang memiliki kompetensi dan kredibilitas moral politik tidak lolos dalam seleksi anggota KPK. Masyarakakat pun menyoroti dan mempertanyakan nasib dan masa depan KPK. Demikian halnya sekarang, ketika KPK tengah menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan dan muncul adanya resistensi dari kalangan dewan, masyarakat memberi dukungan dan berada di belakang KPK.

Ellyasa KH Darwis


3 komentar:

Anonymous said...

Politik yang sarat kepentingan jangka pendek, segala yang dianggap gangguan akan dicegah untuk kuat. Sampai kapan politik kita seperti itu...

D. Ratih said...

Sentilan-sentilan masyarakat pada saat kinerja KPK kurang memuaskan adalah cermin masyarakat sangat berharap besar pada lembaga ini untuk bisa mengusut dan memberantas tuntas praktek korupsi di negri ini tanpa pandang bulu. Tapi kalau KPK sudah mulai menjadi alat politik kekuasan apalagi cenderung melakukan tebang pilih yaa sebaiknya dibubarkan saja..
Apa bedanya KPK dengan para coruptor itu ???

Anonymous said...

ada gula ada semut juga

Network