Menduetkan (Kembali ) SBY JK

Elit Partai Golkar kini mulai gencar mewacanakan untuk menduetkan kembali SBY-JK dalam bursa PILRES mendatang. SBY tetap pada posisi calon presiden sementara JK juga tetap pada posisinya, sebagai calon wakil presiden. Wanaca politik ini bisa dibilang sebagai final, setelah sebelumnya berkembang berbagai formulasi dan skenerio yang sikap politik Partai Golkar.


...Jika benar skenerio ini, maka tampaknya Partai Golkar akan mengusung SBY-JK pada tahap pencalonan. Ini tentu saja berbeda dengan posisi sebelumnya. Seperti diketahui bersama, pada posisi sekarang ini, Partai Golkar dalam dilemma.
.
...


Jika benar skenerio ini, maka tampaknya Partai Golkar akan mengusung SBY-JK pada tahap pencalonan. Ini tentu saja berbeda dengan posisi sebelumnya. Seperti diketahui bersama, pada posisi sekarang ini, Partai Golkar dalam dilemma. Pada satu sisi, sebagai partai pemenang Pemilu, ia tidak ikut mengusung pasangan SBY-JK pada Pilpres yang lalu. Sementara defakto, dengan keberhasilan JK merebut kepempinan di Partai Golkar, mau tidak mau Partai Golkar disebut sebagai bagian dari partai penguasa.

*****
Pada posisi sekarang, memang tidak mudah. Partai Golkar sering gamang bersikap dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Terlebih lagi terhadap kebijakan-kebijakan politik yang tidak populis. Di kalangan Partai Golkar, khususnya, pada faksi-faksi yang krirtis sering muncul letupan-letupan bahwa Partai itu menjadi bumber politik pemerintah. Sementara pada soal posisi dan peran strategis, Partai Golkar merasa tidak mendapat konversi yang wajar dengan peran-perannya menghadapi tekanan-tekanan dan maneuver-manuver politik dari lawan-lawan SBY di DPR.

Kritik yang lebih tajam lagi, sikap politik yang diambil dan mendukung kabinet SBY-JK partai Golkar disebut-sebut olah sementara kalangan sebagai tidak memiliki main set politik yang jelas. Kritik itu sangat lantang dikemukakan oleh kubu Akbar Tanjung, yang tersingkir dari gelanggang Munas Bali beberapa tahun yang lalu.

Pada tataran internal juga, muncul ‘gejolak’ yang cukup deras. Tidak mudah memang partai Golkar mengambil sikap sekarang, pada satu sisi, ia sebagai partai pemenang akan tetapi tidak berhasil mendudukkan kandidatnya menjadi orang nomor satu. Sementara posisi JK, yang meskipun kini menjadi ketua umum Partai Golkar, menduduki posisi wakil presiden tetapi diusung olah partai lain.

Itu persoalan yang muncul akhir-akhir ini. Persoalan berikutnya yang akan muncul dengan wacana menduetkan kembali SBY-JK adalah, jika Partai Golkar kembali menjadi pemenang dalam Pemilu Legislative apakah upaya duet kembali SBY-JK itu tidak menyalahi fatsun politik. Atau taruhlah Partai Golkar tidak menjadi pemenang, akan tetapi ia tetap suaranya berada di atas Partai Demokrat, apakah wacana duet kembali SBY-JK tidak menyalahi fatsun politik yang berlaku? Bahwa partai pemenang harus menjadikan kadernya sebagai orang nomor satu.

Sudah pasti hal ini bukan suatu yang mudah. Masing-masing sikap dan pilihan politik yang diambil akan membawa implikasi-implikasi yang tentu saja tidak mudah. Di mana-mana the ruling party memang memimpin koalisi. Menjadikan kadernya sebagai orang nomor satu dalam bursa kepemimpunan politik kenegaraan.

Akan tetapi, mungkin upaya menduetkan kembali SBY-JK memang satu pilihan politik yang realistis bagi Partai Golkar sekarang. Dari berbagai hasil survey yang dilakukan lembaga polling, memang sampai saat ini, SBY masih menduduki pada rangking tertinggi. Popularitasnya masih di atas rata-rata dan belum ada tokoh lain yang berhasil menyaingi.

Pada sisi lain, mau tidak mau, suka atau tidak suka. JK itu bukan orang Jawa. Sementara issue etnis masih relative laku untuk meraih dukungan suara. Oleh karena itu, memang posisi JK jika maju sendiri agak riskan jika issue etnis dikembangkan oleh lawan-lawan politiknya. Fatsun politik lama tampaknya masih berlaku kini, bahwa presiden itu harus orang Jawa. Mayoritas penduduk negeri ini adalah suku Jawa dan oleh karena harus menjadi variable yang harus dihitung masak-masak.


****
Tentu elit partai Golkar realistis. Dengan jeli membaca sosio histories masyarakat atau pemilih dalam kontestasi politik. Oleh karena itu, wacana menduetkan kembali SBY-JK merupakan satu langkah yang strategis. Tentu saja, langkah strategis itu belum tentu popular di kalangan komunitas politik negeri ini. Pasti akan timbul riak-riak yang bernada menggugat. Tudingannya sangat serius, yaitu sebagai partai yang haus kekuasaan.

Salah satu riak-riak yang lantang terdengar adalah statemen dari mantan Ketua Umumnya, Akbar Tanjung, yang meminta agar wacana menduetkan kembali SBY-JK dihentikan. Seraya menghimbau agar elit Golkar untuk memikirkan masalah Pemilu Legislative dan jangan terlalu berorientasi pada kekuasaan. Sebab ukuran keberhasilan memimpin partai politik adalah seberapa besar partai politik itu mendapat dukungan rakyat dalam Pemilu legislative.

Tentu saja hitungan-hitungannya memang demikian. Akan tetapi jika melihat realitas politiknya, mungkin bisa lain. Bisa jadi wacana menduetkan kembali SBY-JK itu sebagai pilihan politik yang rasional agar partai Golkar tetap bisa memainkan peran dan posisi.

Tampanya pula, partai Golkar ingin tegas menjadi partai pengusung SBY-JK dalam bursa PILPRES mendatang. Menjadi motor penggerak dan sekaligus mengambil kredit point di hadapan Partai-partai lain yang akan mengusung SBY-JK. Adakah Partai GOLKAR ingin disebut sebagai partai pertama yang mengusung SBY-JK dan dengan demikian konversi politiknya ke depan juga akan jelas. Kita lihat saja nanti…

Ellyasa KH Darwis

1 komentar:

Anonymous said...

politik tampaknya hanya selalu menjadi urusan elit. Takutnya yang masyarakat acuh tak acuh, sebab indikasi adanya apatisme politik mulai tampak di mana setiap PILKADA. Moga2 menjadi pelajaran buat elit..

Network