Melanggengkan Dominasi Parpol

Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak akan membawa perubahan berarti. Parlemen masih akan tetap dikuasai partai- partai lama. Sistem pemilu yang baru tidak terlalu berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya. Meskipun calon anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP), jika tidak terpenuhi, akan ditentukan oleh nomor urut yang ditetapkan parpol. Dengan demikian, maka anggota legislatif masih lebih banyak ditentukan oleh partai daripada pemilih.


Pemberlakuan dua sistem threshold sekaligus, yaitu electoral threshold dan parliamentary threshold, juga menunjukkan inkonsistensi parpol. Threshold dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD hanya electoral threshold sebesar 3 persen.

...Segera terbayang di depan mata, kompetisi antar caleg tidak akan competitive. Persaingan memang hanya terjadi untuk merebutkan siapa yang mendapatkan 30% suara dari BPP. Tentu ini bukan suatu yang mudah dan jelas tidak adil. Seseorang yang menggalang dukungan mati-matian jika tidak mencapai angka 30% dari bilangan pembagi, haknya akan direbut atau diambil caleg yang urutannya lebih muda.
...


Untuk pelaksanaan dua threshold tersebut, UU pemilu legislatif yang baru memberikan aturan peralihan. Parpol peserta Pemilu 2004 yang memiliki kursi di DPR tetapi tidak lolos electoral threshold langsung ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009. Padahal, sesuai dengan aturan, mereka seharusnya ikut verifikasi ulang dengan mengubah nama partainya.

****
Jelas, UU pemilu legislatif yang baru hanya akan menguntungkan parpol-parpol besar. Tampaknya memang wacana yang berkembang di gedung DPR itu tidak mau mengakomodasi aspirasi dan pemikiran yang berkembang gedung parlemen. Sistem politik nasional sekurang-kurangnya dalam lima tahun yang akan datang, tidak akan berubah. Dominasi partai politik akan ditentukan oleh Partai Politik, kedekatan dengan pimpinan partai partai politik akan tetap menjadi penentu bagi terpilih tidaknya seseorang menjadi anggota dewan. Tampak di sini, anggota dewan dan Partai Politik lebih mementingkan kepentingan dirinya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Mudah dipahami, dengan kesepatan politik seperti itu maka posisi partai politik akan tetap dominan untuk menentukan jadi tidak seorang caleg untuk lolos ke kursi DPR. Implikasinya tentu saja, sikap , aspirasi dan artikulasi politik seorang anggota legislative akan tetap menjadi perpanjangan tangan kepentingan Partai Politiknya dibandingkan dengan kepentingan aspirasi politik pemilihnya.

Segera terbayang di depan mata, kompetisi antar caleg tidak akan competitive. Persaingan memang hanya terjadi untuk merebutkan siapa yang mendapatkan 30% suara dari BPP. Tentu ini bukan suatu yang mudah dan jelas tidak adil. Seseorang yang menggalang dukungan mati-matian jika tidak mencapai angka 30% dari bilangan pembagi, haknya akan direbut atau diambil caleg yang urutannya lebih muda.

Implikasi dari UU seperti ini memang, tidak akan terjadi kompetisi politik yang serius. Kompetensi, kapabilitas dan konstituensi seseorang tidak sepenuhnya dinilai oleh pemilih. Sementara di luar gedung parlemen, sebelumnya banyak berharap, terjadi peningkatan kualitas legislasi yang secara bertahap akan mendorong atau memacu peningkatan kualitas politik anggota parlemen.
****

Wajar kemudian jika kalangan di luar parlemen yang memiliki perhatian dan menaruh harapan akan adanya UU Pemilu yang kualitatif menjadi kecewa. Kritik tajam yang dikemukakan salah satunya adalah DPR sudah tidak lagi berpikir untuk membuat pemilu yang berkualitas atau kepentingan rakyat. DPR hanya berorientasi pada kekuasaan politik, saling berbagi konsesi untuk keamanan dan kepastian dari kepentingan politik Parpolnya masing-masing.

Tentu saja hal ini semakin meneguhkan dua hal. Pertama, pada aras politik Partai Politik belum siap untuk sekedar menjadi kendaraan dan melepaskan kekuasaannya. Angka atau nomor urut akan menjadi penentu jadi tidaknya seseorang manduduki kursi legislative. Yang paling diuntungkan tentu saja, para politisi yang hanya mengandalkan patron, mengandalkan kedekatan, loby dengan elit partai politik. Dari sini, maka elit politik akan memegang kendali penuh untuk menentukan terpilih tidaknya seseorang melenggang ke DPR.

Kedua, problem yang selama ini merisaukan di mana anggota legislative yang lebih sibuk memperjuangkan aspirasi pribadi dibandingkan dengan aspirasi dan kepentingan politik konstituen akan terjadi lagi. Dengan demikian, kecenderungan dan budaya politik lama, dimana konstituen hanya disapa ramah hanya menjelang Pelaksanaan Pemilu akan terjadi lagi. Pemilu hanya momentum untuk ‘memungut suara’ untuk mendapatkan legitimasi politik. Sebagai tiket untuk bisa melenggang ke Senayan.

Ellyasa KH Darwis

1 komentar:

Anonymous said...

Dengan demikian maka kehidupan politik kita tidak akan beda jauh. Partai politik akan mendominasi dan aspirasi masyarakat bisa jadi akan senantiasa dikalahkan oleh kepentingan sesaat parpol.

Network