Hukuman Mati dan Pelanggaran HAM

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 12/juli/2006)

ADALAH Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang mengatakan penjatuhan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hukuman mati tidak ada hubungannya dengan HAM, sebab segala bentuk hukuman pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup itu juga merampas hak asasi.
Mengapa? Sebab pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Terhadap putusan hukuman mati, menurut Jaksa Agung, terdakwa memiliki hak untuk melakukan upaya hukum lanjutan yaitu banding, kasasi, grasi hingga peninjauan kembali.

Tentu, pandangan seperti itu, bukan suatu hal yang baru. Sewaktu menjabat sebagai menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, juga menyatakan hal serupa serta menegaskan bahwa hukuman mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisis biaya-keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi hukuman mati tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh. Selain Yusril, Muladi sewaktu menjabat sebagai menteri kehakiman juga berpendapat sama, bahkan menegaskan “korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar”.

Banyak kalangan disebut sebagai padangan di atas terlalu normatif dan sempit. Pandangan itu hanya mendasarkan diri kepada KUHP. Sementara hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, UUD 45 menegaskan adanya hak orang untuk hidup dan mempertahankan hidup. Di sini berlaku asas lex supriori, UU yang lebih rendah tak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.

****

BOLEH jadi statemen Jaksa Agung itu, merupakan tengara bahwa dalam waktu dekat hukuman mati akan segera diterapkan. Sederat nama sudah menunggu, sekurang-kurangnya sekarang ada 13 orang dalam proses hukum yang dituntut dengan hukuman mati dan 5 di antaranya divonis hukuman mati. Kemudian, ada 34 terpidana mati yang proses hukumnya sudah final dan segera menunggu eksekusi mati. Mereka umumnya terpidana mati untuk kasus narkoba, pembunuhan, dan terorisme. Dalam waktu terdekat ini terpidana mati yang segera dieksekusi adalah Fabianus Tibo, Marinus Rowu, dan Dominggus da Silva.

Banyak kalangan keberatan dengan argumen yang dikemukakan oleh Jaksa Agung. Paling tidak ada dua alasan, pertama, dalam konteks HAM, hukuman mati dinilai bertentangan dengan untuk hidup (right to life). Hak untu hidup ini, merupakan hak yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Hak untuk hidup ini, tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah seseorang menjadi narapidana. Terlebih lagi, dalam kontek internasional, negeri ini ikut menandatangani Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik (International Covenant on Civil and Political Right).

Kedua, penerapan hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Amandemen Pasal 28A UUD '45 menyebutkan Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan itu ditegaskan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

****

DALAM literature hukum ada dua aliran berkaitan soal hukuman mati, yaitu alisan retensionis dan abolisionis. Satu aliran yang pro dan satu aliran lagi yang menentang. Pro dan kontra ini terhadap hukuman mati dimulai sejak terbitnya Dei Dellitti E Delle Pene tulisan Cesare Beccaria (1764). Buku ini memiliki pengaruh yang besar dalam rentang waktu PD I dan PD II yang kemudian mengilhami lahirnya aliran humanisme. Humanisme menekankan kepada pentingnya pengakuan eksistensi kemartabatan manusia akan tuntutan penghargaan hak asasi manusia, terutama hak atas hidup (rights to life) dan hak-hak sosial lainnya.

Jika aliran retensionis merumuskan pidana mati bersifat transcendental, dibangun dari suatu pandangan yang mencoba melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pandangan penganut aliran ini, pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, oleh karena itu hukuman yang sangat berat berupa hukuman mati harus dilakukan untuk menjaga tertib hukum. Slogan yang paling terkenal adalah ucapannya Kant, “andaikata besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada hari ini.” Jadi, dalam hukuman itu yang berlaku tindakan pembinasaan (the vindictive theory of punishment), tidak perlu lagi digunakan teori relative yang bertujuan memberi efek jera.

Sementara itu, aliran abolisionis melihat apa yang dilakukan aliran retensionis tidak mempunyai pengaruh kuat dan efektif untuk menekan angka kriminalitas. Aliran ini melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization” yakni pidana mati harus disesuaikan dengan perubahan zaman dan kondisi strukturasi sosial kehidupan masyarakat. Untuk itu, dalam melihat kejahatan, selalu dikaitkan dengan pengaruh faktor-faktor perkembangan psikologis, sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang tetap hidup dalam masyarakat.

Kembali ke soal hukuman mati, pengikut aliran ini selalu terjebak pada aliran positivisme legis, yang berasal dari aliran pemikiran hukum murni dan menafikan masalah-masalah yang berkaitan engan tentang filsafat moral, etika, hak asasi manusia apalagi berbicara sosiologi hukum.

Nah dengan statemen Jaksa Agung Abdurahman Saleh itu, kita menjadi tahu dimana positioningnya dalam filosofi hukum.

0 komentar:

Network